Selasa, 22 Oktober 2013

ALBUM PIONEER GENERATION





Memoar Senja


Tubuh Navi, Zaini, dan Amri telah belepotan dengan lumpur coklat. Baju mereka pun basah kuyup karena bermain air. Mereka tiada henti tertawa cekikikan di pinggir sungai. Tiap sore, mereka memang pergi ke sungai untuk menggembala itik. Amri, sisulung, memandangi matahari yang mulai perlahan bersembunyi ke peraduannya. Navi, kakak kedua, memandangi wajah Amri yang nampak serius mengamati fenomena kebesaran Tuhan itu. Zaini, si bungsu, pun tak mau ketinggalan ikut meresapi suasana senja sore itu. Tanpa disengaja, mereka secara bersamaan bertanya-tanya dalam hati. Sebuah pertanyaan yang mengusik nalar manusia. Mengapa Tuhan mengganti siang dengan malam dan sebaliknya?

Tak tersadar, mereka terdiam merenung untuk beberapa lama. Bias merah senja berubah kian gelap. Amri tergugah dari renungannya. Ia menepuk kedua adiknya dan mengajak mereka pulang. Sepanjang perjalanan, mereka mengawal dan menggiring itik hingga sampai rumah dengan wajah ceria. Mereka memang begitu berbakti kepada orang tua. Ketiganya jarang sekali menggerutu bila diperintah oleh orang tuanya. Paling tidak, mereka berusaha selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan santun kepada orang tua.

Sesampainya di rumah, Khumaira telah menunggu kedatangan putra-putranya di teras dengan senyum mengembang. Zaini, yang masih berumur 12 tahun, langsung berlari menghampiri ibunya. Zaini memang suka bermanja-manja dengan ibunya. Maklum, dia adalah anak bungsu. Sementara itu, kedua kakaknya langsung menggiring itik masuk ke kandang. Setelah semua itik masuk kandang, mereka mandi secara bergantian.

Tak lama kemudian, lantunan azan yang menggetarkan jiwa terdengar dari masjid yang tak jauh dari rumah mereka. Azan itu dikumandangkan oleh Robi. Ia adalah takmir masjid yang setia menjalankan tugasnya. Karena ayahnya telah wafat sewaktu ia masih SD, Robi pun menjadi pendiam. Ia tidak seperti anak-anak pada umumnya yang banyak bertingkah. Mungkin, ia lebih memilih untuk berkhidmat merenungi nasibnya. Tetapi, hal itu justru berdampak positif.Ia malah semakin mengerti hakikat hidup. Hingga kini, ia mantap menjalani tugasnya sebagai takmir masjid. Dari keikhlasannya itu, ia pun mendapat berkah yang bila dinilai secara material tak seberapa. Namun, ia selalu ingat ibunya ketika mendapat rezeki. Sekecil apapun rezekinya, ia selalu bersyukur dan langsung membawa pulang untuk dibagi dengan ibunya.

Azan pun selesai dikumandangkan.Mukhlis memanggil ketiga putranya untuk diajak shalat berjamaah di masjid.Sejak kecil, Mukhlis sudah membiasakan anaknya untuk shalat fardhu di masjid.Karena, ketiga anaknya adalah laki-laki.Mukhlis memberi pengertian bahwa masjid itu perlu dimakmurkan.Ia berkata kepada ketiga anaknya bahwa barangsiapa memakmurkan masjid maka orang itu akan mendapatkan keutamaan dan merupakan orang-orang mukmin. Amri, Navi, dan Zaini menjadi bersemangat untuk beribadah di masjid setelah mendengar perkataan ayahnya.

Sebelum masuk masjid, ayah dan ketiga putranya itu berdoa.Lalu, mereka shalat tahiyatul masjid dua rakaat.Tak lama kemudian, Robi berdiri dan mengumandangkan iqamat. Semua jamaah langsung berdiri dan bersiap menunaikan shalat maghrib. Pak Ramli menjadi imam shalat pada waktu itu.Beliau menengok ke barisan jamaahnya dan berkata agar saf diluruskan serta dirapatkan karena merupakan bagian dari kesempurnaan shalat.Takbir pertama memecah keheningan di petang itu, “Allahu Akbar”.

Pak Ramli membaca dua surat pendek. Surat yang pertama adalah surat Al-Ikhlas. Surat ini mengukuhkan keesaan Allah Swt bahwa tiada sekutu bagiNya.Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan.Dia mengurus semua urusan di alam semesta ini baik di langit maupun di bumi.Baik yang tampak maupun tersembunyi, Dia berkuasa atasnya.Dia mengetahui yang gaib dan yang nyata.Tak ada satu pun makhluk yang menyerupai dan menandingiNya.

Surat yang kedua adalah surat Al-Maun. Surat ini mengajarkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, bahkan bila mampu menyantuni serta memberi makan.Namun bagi yang belum mampu, mereka dapat menganjurkan orang lain untuk memberi makan dan menyantuni anak yatim serta orang miskin. Surat ini menerangkan pula bahwa celakalah orang yang shalat. Mereka shalat karena riya (ingin dilihat dan dipuji orang lain). Sehingga, mereka meninggalkan shalat ketika tidak ada yang melihat. Padahal, Allah Swt Maha Mengetahui atas apa yang mereka kerjakan. Surat ini pun mengajurkan agar kita saling tolong menolong dalam kebaikan.
Pak Ramli dan para jamaah duduk tahiyat akhir. Kemudian, Pak Ramli mendahului mengucapkan dua salam dan menoleh ke kanan serta ke kiri agar terlihat pipinya dari arah belakang.Selesai shalat, jamaah masjid berdzikir mengingat Allah Swt, mengucap syukur, dan bertasbih kepadaNya.Tak lupa, mereka membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW agar kelak mendapat syafaat dari beliau SAW di hari kiamat.Setelah itu, para jamaah berdoa menurut hajatnya masing-masing.Ketenangan menyelimuti sanubari mereka yang menyerahkan diri kepada Allah Swt.

Penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allah Swt merupakan wujud keIslaman yang sejati. Karena, Muslim adalah sebutan bagi orang-orang yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa/Tuhan yang satu yaitu Allah Swt. Seberapa tinggi penyerahan diri mereka kepada Allah Swt, itulah manifestasi dari seberapa kuat keimanan mereka.

Seusai berdoa, Pak Ramli memimpin para jamaah yang masih berada di masjid untuk mengkaji Al-Quran.Tidak hanya membaca, Pak Ramli mengajak jamaah untuk mentadaburkan isi Al-Quran hingga kandungannya bisa meresap sampai ke hati tiap pembacanya. Pak Ramli mulai membaca taawud dan basmallah dilanjutkan surat Maryam. Beliau membaca ayat demi ayat dengan fasih, tartil, dan suara yang lembut.Para jamaah mengikuti bacaan Pak Ramli dengan penuh antusias. Tiap selesai satu ayat, mereka berhenti membaca huruf  hijaiah. Mereka lalu membaca terjemahan dari ayat yang baru dibaca.Terjemahan itu mereka baca hingga dua kali.Kemudian, Pak Ramli menjelaskan maknanya dengan panduan kitab tafsir Ibnu Katsir.Tak sembarang mengajar karena, Pak Ramli memang berlatar pendidikan S1 jurusan tafsir dari salah satu perguruan tinggi di Arab Saudi.
Jamaah terus mengkaji Al-Quran tanpa henti.Mereka merasa penasaran dengan kandungan firman-firman Allah Swt. Karena, firmanNya adalah pedoman yang pasti bagi orang yang percaya. Mereka dijamin tidak akan tersesat selama berpegang teguh terhadap Al-Quran dan sunnah Rasulullah Muhammad SAW.

Robi melihat jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan saat untuk adzan Isya.Kumandangan azan kembali membahana di penjuru Desa Qolbun Salim itu. Jamaah yang tadi pulang setelah shalat maghrib kembali mendatangi masjid Nur Hidayah. Dulu, masjid itu dibangun dan diwakafkan oleh Pak Hamam.Beliau adalah orang kaya yang begitu dermawan dan rendah hati.Rumah beliau sering dipenuhi oleh orang miskin dan anak yatim yang diajak makan bersama beliau dan keluarganya.Hal tersebut membuat keluarga Pak Hamam merasa bahagia dan mendapat rezeki yang lebih berkah.
Tentu, Allah Swt ridho dan memperbanyak nikmatNya kepada hambaNya yang mau berbagi kepada sesama.Karena, rezeki yang diberikan kepada hamba yang dermawan tersebut juga menjadi rezeki bagi kaum dhuafa di sekitarnya. Bila kita berpikir dengan logika manusia, si A memberi uang kepada si B. Kemudia, si B ternyata suka membagi-bagikan apa yang ia dapat kepada orang lain yang membutuhkan. Oleh karena itu, si A lebih suka memberikan uang kepada si B daripada orang lain. Karena dengan memberi satu orang, orang lain pun mendapat bagian. Sehingga, si A dapat dianalogikan memberi kepada banyak orang sekaligus meski kenyataannya hanya memberi kepada si B.

Jamaah sudah duduk di masjid dengan tertib.Robi kembali berdiri untuk menyerukan iqamat.Jamaah mengikuti seruan itu dengan berdiri dan bersiap untuk shalat Isya.Pak Hamdi melangkah maju ke mihrab.Sekarang, beliau menjadi imam shalat menggantikan Pak Ramli.

Pak Hamdi memimpin shalat dengan khusyuk mulai dari takbiratul ikhram hingga salam. Para jamaah menikmati indahnya bersujud kepada Allah Swt dalam tiap rakaat shalat.Selesai shalat, mereka kembali berdoa dengan kata-kata yang baik dan lirih kepada Tuhan semesta alam.

Jam menunjukkan pukul 19.20 WIB. Jamaah mulai berhamburan keluar masjid.Masih di dalam masjid, Zaini dan Navi mengajak ayahnya untuk jalan-jalan keliling kampong sebelum pulang ke rumah. Pak Mukhlis bertanya kepada si sulung Amri, apakah ia mau jalan-jalan dahulu. Amri pun mengiyakan ajakan kedua adiknya itu.Lagipula, ia sudah lama tidak jalan-jalan keliling kampong malam-malam begini. Robi pun mendengar pembicaraan ayah dan anak-anaknya itu. Robi langsung menyahut untuk menanyakan apakah ia boleh ikut. Pak Mukhlis dengan senang hati mengajak lelaki muda itu untuk ikut bersamanya.Kemudian, mereka berlima keluar dari masjid dengan langkah tenang.

Sepanjang perjalanan, mereka berbincang-bincang dan bersenda gurau.Robi hanya sedikit bicara, namun celotehannya menghangatkan suasana.Mereka berjalan menuju jembatan yang runtuh separuh bagiaannya danberhenti beberapa saat.Mereka menikmati aliran sungai yang dipadu nyanyian hewan malam.Ketiga putra Pak Mukhlis sambil memandangi bintang dan bulan yang berdampingan menghias malam.Mereka berpikir mengapa bulan nampak lebih besar dari bintang.Sementara, Pak Mukhlis memberi wejangan dan motivasi untuk Robi agar tak patah semangat dalam menjalani hidup. Kini, Robi hanya memiliki seorang ibu karena ia tak mempunyai saudara kandung.
Zaini telah terkantuk. Seketika itu, ia menguap dan tak kuasa menahan kantuknya. Ia memanggil sang ayah untuk mengajak pulang. Pak Mukhlis tersenyum melihat tingkah anaknya itu.Mereka berlima melanjutkan perjalanan untuk pulang.Mereka melewati tiga jalanan yang menanjak.Jalanan yang mereka lalui telah rusak karena sering dilintasi oleh truk bermuatan berat.Karena sudah tak sanggup berjalan, Zaini digendong ayahnya.

Di tengah jalan, Robi melihat gelagat yang mencurigakan dari seseorang.Ia melihat orang itu tegah mengintai rumah Pak Hamdi. Robi segera memberi tahu Pak Mukhlis untuk ikut mengawasi apa yang dilakukan orang mencurigakan itu. Mereka sepakat untuk berhenti berjalan dan bersembunyi di balik semak-semak.

Setelah beberapa saat, orang mencurigakan itu mengendap-endap menuju bagian samping rumah Pak Hamdi. Sementara, Robi, Pak Hamdi, dan ketiga anaknya mengikuti gerak gerik orang itu. Ternyata, orang berbaju hitam dan memakai penutup wajah itu hendak membuka jendela rumah Pak Hamdi dengan alat yang telah disiapkan.Robi sedikit terperanjat dan terlihat takut. Baru kali ini, ia melihat secara langsung tindakan pencurian. Melihat hal itu, Pak Mukhlis cepat tanggap dan menasihati Robi agar tak perlu takut untuk menolong dalam kebaikan. Pak Mukhlis pun mengatur rencana untuk menyekap pencuri itu dari arah belakang. Pak Mukhlis memerintahkan Robi untuk menyekap tubuh pencuri itu, sedang beliau akan melucuti senjatanya. Sementara itu, ketiga anak Pak Mukhlis disuruh menjauh dan mengajak warga untuk menumpas kejahatan tersebut.

Tak lama kemudian, Pak Mukhlis dan Robi semakin mendekat kea rah pencuri itu.Dengan penuh perhitungan, Robi melompat ke arah pencuri itu dan mengikat kedua tangannya.Pak Mukhlis dengan sigap langsung mengambil pisau dan pistol yang berada di pinggang pencuri itu.Kemudian, beliau langsung membantu Robi untuk mengunci tubuh pencuri itu agar tidak bisa bergerak.Selang beberapa saat, Pak Hamdi keluar dari rumahnya.Beliau langsung membuka kedok pencuri itu.Ternyata, pencuri itu adalah Parjo.Ia telah menjadi pengangguran selama beberapa bulan terakhir.

Setelah itu, ketua RT setempat tiba di lokasi kejadian diiringi kedatangan beberapa warga.Mereka sepakat untuk tidak main hakim sendiri. Sehingga, masalah tersebut sepenuhnya akan diserahkan pada pihak yang berwajib. Polisi pun tiba di tempat kejadian dan segera memborgol pencuri itu.
Pak Hamdi mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Robi dan Pak Mukhlis.Sebenarnya, Pak Hamdi tidak merasa kalau ada yang mengintai dan hendak melakukan pencurian di rumahnya.Oleh karena itu, beliau merasa tertolong oleh kemurahan hati kedua tetangganya itu.Tak lupa, beliau mengucapkan terima kasih pula kepada pihak kepolisian yang telah melayani masyarakat dengan baik.

Akhirnya, semua warga pulang ke rumahnya masing-masing.Pak Mukhlis dan Robi merasa senang bisa membantu sesamanya. Polisi pun sedang dalam perjalanan membawa Parjo untuk diinterogasi lebih lanjut di kantor. Pak Hamdi masuk ke dalam rumahnya dengan hati bersyukur karena kejadian buruk tak jadi menimpanya.Peristiwa malam itu pun menjadi pembelajaran bagi Pak Hamdi dan warga untuk lebih berhati-hati serta meningkatkan keamanan.


Oleh: Arief Eko Priyo Atmojo, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UNS

Cinta Membuatku Tersesat di Jalan Kebenaran


Jika kau bertanya kepadaku apa alasanku mengenakan pakaian tertutup begini, maka aku akan menjawab “Tentu saja karena panggilan hati”. Namun sebenarnya bukan itu yang dikatakan oleh hatiku. Ia akan berkata, “Bukankah karena lelaki itu?” Jawaban yang satu itu benar karena hatiku tidak dapat berbohong. Semua ini bermula setahun lalu saat aku mulai tertarik kepada seorang lelaki, Bayu namanya. Seorang lelaki manis, murah senyum, dan saat itu menjabat sebagai ketua salah satu organisasi sekolahku. Memang sudah setahun sebelumnya aku tahu dia satu sekolah denganku dan kelasnya bersebelahan dengan kelasku, namun baru saat itu aku tertarik padanya.

Nina yang dulu berbeda dengan Nina yang sekarang, semua gara-gara Bayu. Tapi aku bersyukur hal itu terjadi dan proses menjadi Nina yang baru sangat mengesankan. Dulu, pakaian seragamku tidak panjang seperti sekarang juga tidak ada kain yang menutupi kepalaku. Beberapa perilaku yang dulu sering kulakukan kini sudah tidak lagi kulakukan, seperti ber-gossip ria dengan teman-teman sebelum kelas dimulai. Namun Nina tetaplah Nina meskipun terjadi beberapa perubahan pada dirinya. Nina tetaplah gadis biasa yang sedang berusaha menapaki jalan kebenaran.

Setahun yang lalu, aku sama sekali tak punya pengalaman dekat dengan lawan jenis, mungkin hanya sekedar mengagumi seseorang. Namun karena banyak temanku saat itu yang lebih ahli dalam urusan tersebut, mereka memberiku pelajaran harus bagaimana jika menyukai lelaki. Mereka mengajarkan tindakan yang mereka sebut sebagai “PDKT”. Sebuah pelajaran yang sekarang aku tahu itu salah.

Dalam ajaran teman-temanku tersebut,  salah satu cara “PDKT” adalah berusaha menarik perhatian si dia dengan mengetahui tipe wanita yang diinginkan olehnya. Karena ingin melaksanakan ajaran tersebut, aku bertanya pada temanku yang sekelas dengan Bayu, Lana. Saat pertama kali aku bertanya, Lana tak langsung menjawab karena menurutnya dia perlu bertanya langsung kepada yang bersangkutan. Diliputi rasa malu dan cemas, aku meminta Lana tidak mengatakan bahwa aku lah yang menanyakan hal tersebut padanya.

“Dia suka cewek yang hatinya baik lho, yang selalu berusaha menghindari larangan dari Allah…” Begitu kata Lana tiba-tiba saat kami bercakap-cakap saat jam istirahat.

Jawaban tersebut memberikan angin segar dalam paru-paruku. Tidak sulit untuk melakukan itu, sepertinya. Maka setelah pembicaraan tersebut aku mengoreksi sifat dan sikapku. Sudahkah aku memenuhi kriterianya, dan juga manakah perilaku yang seharusnya kuubah untuk mendapatkan perhatiannya. Aku bertanya pada setiap temanku tentang sifat dan sikapku. Aku juga bertanya pada mereka bagaimana ciri-ciri orang yang hatinya terjaga menurut mereka. Tak jarang mereka bertanya balik kenapa aku menanyakan hal itu, namun kuacuhkan.

Mengubah perilaku ternyata bukanlah hal mudah, apalagi bila perilaku tersebut sudah mendarah daging. Terpikir sebuah cara yaitu menuliskan sifat dan sikap apa yang harus kuubah sehingga apabila sifat atau sikap tersebut kambuh aku tetap bisa menandai kalau hal tersebut salah. Dasar, gara-gara Bayu aku melakukan semua itu. Lalu setelah aku merasa telah memenuhi kriteria yang satu itu, dengan PD aku menanyakan lagi pada Lana tentang kriteria yang lain.

“Dia suka cewek yang berjilbab…”

Merasa tertindih sebuah batu yang cukup besar, aku tetap berusaha menerimanya. Sepertinya aku harus menyerah saja untuk merebut hatinya. Membayangkan aku memakai kain itu di kepalaku untuk waktu yang lama saja sudah membuat sesuatu di perutku menggeliat. Apalagi jika benar-benar melakukannya.

“Semangat, Nin. Kamu pasti bisa kok.” Lana sepertinya mengatakan itu karena melihat perubahan raut mukaku.

Dengan senyum yang sedikit kupaksa, aku berpikir dan berpikir lagi. Haruskah aku melakukan perubahan itu demi seseorang yang kuanggap istimewa. Mungkin kalau aku melakukan itu, dia bisa tertarik padaku. Tapi bisa jadi dia telah menaruh hati pada orang lain dan semua pengorbananku ini akan sia-sia. Aku tahu memang berjilbab adalah perintah dari Allah, namun aku belum rela mengenakan pakaian tertutup begitu secepat ini. Aduh, aku benar-benar bingung.

Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk membicarakan rencanaku untuk mengenakan penutup kepala kepada ibuku. Entah apa yang akan dikatakan ibu.

“Wah, ya bagus toh itu. Ibu setuju, sangat setuju. Kalau kamu benar-benar sudah siap ya ibu dukung keinginanmu itu. Tapi kok tiba-tiba? Ada apa?”

Aku kaget mengetahui ibuku begitu antusias mendengar rencanaku. Padahal tak pernah sekali pun ibu memaksaku memakai kain itu. Dengan meringis aku menjawab pertanyaan ibu, “Ndak ada apa-apa, Bu.”

“Oh, ya sudah. Yang konsisten pakainya, yang benar juga. Jangan kayak ibu gini. Lurusin niatnya juga lho.”

Deg, kata-kata terakhir ibuku sepertinya menyindirku. Tapi kenapa ibu bisa ngomong begitu. Ah, mungkin cuma kebetulan ibu ingin memberi wejangan seperti itu. Yang penting, deklarasi persetujuan yang telah “ditandatangani” oleh ibuku tersebut semakin memberiku semangat untuk memakai kerudung.

Beberapa hari setelahnya, entah setan atau malaikat yang merasuki diriku, aku memakai seragam yang berbeda dari seragam lamaku. Teman-teman sekelasku ribut melihat perubahan pada diriku. Mendengar pujian dari mereka membuat hatiku sedikit bergolak, seperti bukan aku yang dipuji. Memang bukan aku, karena aku tak melakukan ini untuk diriku melainkan untuk orang itu. Aku tak suka dengan pujian itu, aku merasa tak pantas dipuji seperti itu. Makin lama dadaku makin sesak, entah mengapa. Seperti ada anak panah yang terus berusaha mengoyak jantungku.

Aku berjalan lemas menuju kamar mandi. Di tengah perjalanan ternyata Bayu berjalan dari arah berlawanan. Perasaan yang kurasa saat itu berbeda dari perasaan yang kurasa saat berpapasan dengannya di lain kesempatan. Tak ada kupu-kupu yang menggelitik perutku, tak ada pula awan yang siap membawaku terbang ke angkasa. Hanya sisa-sisa anak panah yang tadi mengoyak jantungku. Dan saat dia hanya melirik sebentar ke arahku tanpa mengucap “Hai!” seperti biasanya, membuat perasaanku makin tak karuan.

Sesampainya di dalam kamar mandi, aku melepas kerudungku dan meremasnya.
“Haruskah aku tetap memakai ini? ”

Lama aku berperang dengan pikiranku mencoba mencari jawaban, tapi tak berhasil kutemukan. Akhirnya tetap kukenakan kain yang telah kuremas-remas itu. Karena bila tidak begitu, aku yakin aku akan mencoreng nama wanita berjilbab lain. Aku pun kembali masuk kelas meski tahu bel masuk sudah lama berdering.

Saat jam istirahat, aku melakukan hal yang tak biasa kulakukan, pergi ke mushola sekolah. Kuhiraukan ajakan teman-teman karibku untuk menuju kantin. Entah apa yang mendorongku melakukannya. Di sana aku bertemu Lana.

“Mau sholat dhuha, Nin?” Tanyanya.

Aku merasakan kepalaku bergerak ke kiri-kanan. Memang, aku tak tahu mau apa ke mushola. Tak ada keinginan, tak ada tujuan, pikiranku sedang kacau.

“Oh, ya sudah. Aku sholat dulu ya.”

Aku duduk bersandar di baris paling belakang dalam mushola. Kulepas kerudungku. Tak terasa butiran-butiran kristal bening bergulir di pipiku. Aku malu menampakkan kesedihanku itu, maka kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Tangis itu semakin lama semakin membuat dadaku sesak. Entah, aku tak paham dengan apa yang kurasakan, apa yang membuat aku menangis.

Seseorang menepuk pundakku. “Kenapa, Nin?”

Lama aku tak menjawab. Aku tahu itu suara Lana, tapi aku tak tahu harus berkata apa.
“Tenang ya. Kamu bisa cerita apapun ke aku, nggak bakal bocor deh.” Dia mengelus-elus pundakku.
Merasa mendapatkan kembali sedikit kekuatan, isakku berhenti. Kubuka tanganku dan kutatap Lana yang sedang duduk di sampingku.

“Aku ndak pantas memakai ini. Aku membohongi semua orang.” Akhirnya ada juga kalimat yang bisa keluar dari mulutku setelah seharian aku mengunci rapat mulutku.

“Kenapa kok ngerasa nggak pantas? Tiap muslimah pantas kok pakai kerudung.”

“Karena… Karena… Kamu tahu lah kenapa aku pakai ini, masa cuma gara-gara dia. Sepertinya aku belum siap. Tapi kalau kulepas lagi, aku merasa…”

“Kenapa harus dilepas lagi? Kenapa belum siap?”

Kenapa aku belum siap memakainya?  Aku hanya merasa bulum siap menerima tanggung jawab yang akan menimpaku saat aku memakai penutup kepala ini.

“Kalau nggak siap ya disiap-siapin aja. Kan nggak ada ruginya juga pakai kerudung, banyak untungnya malah.”

Aku diam mencerna kata-kata Lana. Haruskah aku seperti itu? Bisakah?

“Nanti sepulang sekolah ada kajian khusus cewek lho di sini. Datang ya kalau bisa, aku juga datang. Tenang aja, kajiannya resmi kok.”

Aku mengenakan lagi kerudungku dengan malas. Mungkin karena melihatku tak bersemangat, Lana membantuku merapikan kerudungku.

“Ayo balik ke kelas.”

Hari itu sepulang sekolah aku menanggapi undangan Lana untuk datang ke mushola. Yah, hari itu aku memang aneh. Tak biasanya aku mau menghadiri kajian. Saat itu sudah lama aku tak menghadiri kajian, sejak kajian bulan ramadhan yang lalu.

“Kajian hari ini tentang apa?” aku bertanya kepada temanku yang duduk di sampingku.

“Wah, pangling aku kamu datang, Nin. Tentang ‘Muslimah di jaman modern’ katanya.”

“Oh…” Sepertinya menarik.

Memang benar, kajian hari itu sungguh menarik. Masalah yang dibahas seperti mewakili kegelisahanku.

“Kita sebagai seorang muslimah tidak seharusnya takut tidak mendapatkan isi dunia ini gara-gara mengejar ridho-Nya. Allah sudah janjikan kepada kita kemudahan mendapatkan isi dunia apabila kita tetap memegang teguh ajaran agama islam…” Wanita yang sedang berbicara di depan tersebut bukan orang biasa-biasa saja, katanya. Dia adalah alumni sekolahku dan sudah menjadi entrepreneur yang cukup sukses. Kajian tersebut secara tak langsung memberikan semangat kepadaku untuk tetap mengenakan kerudungku dan mencoba menata kembali niatku.

Sesi tanya jawab dimulai. Aku ingin menjadi salah satu penanya, dan kesempatan menghampiri.
“Saya Nina, ingin bertanya. Bagaimana cara mengatasi ketakutan tidak dianggap oleh masyarakat karena kita berjilbab? Kalau misalnya cari kerja nanti kan banyak yang menetapkan harus pakai seragam ini itu tanpa jilbab, terus harus gimana menghadapinya? Terima kasih.” Tanyaku.

Aku mendengarkan baik-baik jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dilontarkan olehku maupun oleh pendengar yang lain. Sangat memberi pencerahan bagiku. Rasanya aku mendapat semangat baru juga motivasi baru untuk mengenakan terus kerudungku. Seakan motivasiku karena ingin mendapat perhatian dari Bayu itu tersingkirkan digantikan oleh motivasi yang baru kudapat barusan. Dan akhirnya kajian berakhir dengan menyisakan banyak pelajaran dalam diriku.

“Kawan-kawan semua, saya meminta izin untuk berbicara sebentar.” Suara yang kukenal, suara Lana, terdengar dari depan. “Hari ini saya mengajak kawan saya, anggota keluarga baru kita. Nina namanya. Dia baru belajar memakai jilbab. Saya ingin kita sebagai jilbaber senior bisa menyemangatinya untuk tetap mempertahankan jilbabnya.”

Aku seperti menjadi bintang dadakan. Setiap pasang mata, hampir dua puluh pasang, tertuju padaku. Sedikit risih memang, tapi ada perasaan bahagia melihat senyuman dari setiap wajah itu. Beberapa orang yang tak kukenal menyodorkan tangan meminta berkenalan denganku. Baru kali itu aku merasakan kehangatan aneh yang bisa menghilangkan semua perasaan-perasaan yang beberapa jam sebelumnya kurasakan. Harus kuakui, aku senang berada di antara mereka.

“Besok-besok datang kajian lagi ya, dik Nina. Sampai jumpa.” Kakak kelas yang baru kukenal berpamitan lalu pergi. Kajian telah usai. Aku berjalan keluar mushola menuju tempat parkir.
“Nina…” Lana datang menghampiriku.

“Lana, makasih ya. Aku dapat banyak pelajaran.”

“Ok, sama-sama. Kamu nggak marah kan tadi aku ngomong begitu di depan?”

“Enggak, aku senang malah, bisa dapat banyak kenalan baru.”

Dari arah jam dua kulihat Bayu sedang berjalan ke arah kami. Aku berusaha mengendalikan gejolak yang muncul tiba-tiba dalam hatiku.

“Lana, nih bukumu nggak tahu kenapa tadi ada di tasku.” Kata Bayu sambil menyodorkan buku tulis milik Lana.

“Ok, terima kasih sudah dibalikin.”

“Aku duluan ya. Assalamu alaikum.” Tanpa memandang ke wajah kami dia berlalu pergi.

“Oya, yang di sampingmu itu murid baru kah?” Bayu berbalik arah untuk menanyakan itu.

“Ha? Bukan, ini Nina.”

“Oh, maaf. Kelihatan beda soalnya.” Bayu pun berlalu pergi.

Ternyata dia tadi tidak menyapaku karena tidak mengenaliku. Maaf, aku salah sangka.

Setelah kajian yang satu itu, aku hampir tak pernah absen dari menghadiri kajian rutin di mushola sekolah itu. Aku pun jadi sering bergaul dengan para akhwat yang kukenal dari pengajian itu. 

Kehidupanku pun seperti berubah. Tapi aku bersyukur mengalami perubahan itu. Rasa syukur itu tak habis kurasakan bahkan hingga saat ini, setelah aku lulus dan berpisah dengan orang-orang yang membuatku terperosok dalam dunia kebaikan.

Hari ini aku melakukan promosi jurusan tempatku kuliah sekarang ke sekolah lamaku. Di saat akan pulang, aku melihat lagi sebuah wajah yang begitu kukenal. Lana.

“Hai, ukh… Lama nggak ketemu.” Wajahku sumringah saat mendengar lagi suara itu.

“Hai. Kangen banget rasanya.”

“Gimana kabar hati anti?”

“Ih, apaan sih? Baru ketemu kok tiba-tiba ngomong aneh. Maksudnya?”

“Ya tentang penyerangan ‘virus’ ke hati anti waktu itu. Sudah terobati atau masih tersisakah?”

“Oh, kirain apa. Alhamdulillah sudah diobati. Semoga ndak terinfeksi lagi.”

“Ana minta maaf ya waktu itu sudah bohongin anti.” Kata-kata Lana mengejutkanku. “Begini 

ceritanya. Dulu ana cuma mengarang tentang tipe gadis idaman dia. Aku cuma ingin anti jadi kayak sekarang gini. Maaf ya kalau caranya salah.”

Entahlah, tak ada rasa kecewa atau apa pun mendengar pengakuan Lana. “Aku suka kamu menjebakku seperti itu. Untung ya waktu itu aku curhat ke kamu, mungkin kalau orang lain bakal makin ruwet masalahnya.”

Kami melanjutkan obrolan melepas kerinduan kami, saling bercerita tentang kehidupan baru kami di kampus masing-masing. Aku senang kini aku terjebak di jalan kebaikan ini. Aku berharap bisa terus bersama mereka, orang-orang yang mencintaiku karena Allah. Aku sungguh bersyukur telah terjebak dalam jalan ini.

Oleh: Atiqotun Niswah, mahasiswa ITS Surabaya

Syahadat Bebek


Deru kendaraan bermotor membuat pening kepalaku. Seolah ada yang berbisik untuk segera singgah ke masjid depan kampus. Masjid yang berdiri tanpa kubah dan ditemani sebuah menara yang menjulang tinggi itu memang selalu menjadi peneduhku. Bukan berarti aku orang yang alim. Tapi adanya kerinduan dengan masjid ini juga membuatku berasumsi, aku masih punya secercah iman yang terjaga. Ku lirik beberapa akhwat  di selasar masjid ini. Riuh rendah mereka bersenda gurau di dekat tangga masuk aula utama. Aku pun terduduk menghadap sang menara. Mataku meneropong seorang gadis dengan asyik mengayunkan kameranya. Beberapa ku lihat ia membidik pose manyunku. Ia berlari mendekatiku.

“ Wah mata kakak indah. Bulat coklat. Mungkin itu yang membuat wajah kakak fotogenik” Cercah gadis ini. sekilas suaranya mirip bebek. Begitu cempreng di telingaku.

“ Kamu tampaknya suka fotografi. Sering ke masjid ini?”

Raut wajahnya seolah mengatakan jawaban yang sebaliknya. Namun wajahnya tetap manis. Ah tidak, ia sangat cantik. Dari alur wajahnya dapat aku lihat ada keturunan etnik Cina tergambar jelas. Aku merasa mengucapkan sesuatu yang salah. Ku lihat ia hanya mengulurkan tangannya yang aku tahu ia ingin berkenalan denganku. Wah satu angkatan rupanya. Maklum aku masih terhitung mahasiswa baru di sini. Perbincangan pun mulai mengalir di antara kami. Meski hanya sekedar SKSD, aku pribadi merasa sangat nyaman dengan gadis yang aku kenal ini. Sesekali ia menunjukkan koleksi foto di album kameranya. Penampilannya menyiratkan bahwa ia bukan berasal dari keluarga kalangan bawah.  Tidak mau kalah, aku pun menceritakan acara kepanitiaan P3R yang sedang aku jalani. Namun dari sekian banyak cerita, kulihat ia agak terperangah saat aku menyebutkan jumlah panitia yang terlibat. Bukan berarti ia tidak tahu betapa spesialnya bulan Ramadhan namun jumlah yang aku sebutkan sungguh di luar perkiraannya. Obrolanpun menjadi lebih seru saat aku mulai menjelaskan susunan kepanitiaannya. Tak jarang kami mulai melempar gurauan.

Tak puas dengan obrolan di selasar masjid, kami pun melanjutkannya via sms. Aku sungguh tidak menyangka akan menemukan teman baru yang super enak diajak bicara. Si Bebek yang ku kenal ini mempunyai hobi yang sama denganku. Seolah aku menemukan duniaku di dalam dirinya. Terasa semakin klop saja setiap aku mengetahui sisi lain darinya.

***

Seminggu telah berlalu semenjak pertemuanku dengan Vina. Namun bagiku, aku merasa bertahun-tahun mengenalnya. Sampai-samapi ia menerima ajakan ku untuk bergabung dalam kepanitiaan P3R tahun ini. Banyak rekan yang memuji bakat luar biasanya. Memang penilaianku terhadap bakat kreatifnya kali ini tidak meleset. Kepribadiannya tidak jauh berbeda dengan wajahnya yang cantik. Bahkan aku kira sifatnya mirip dengan putri di negeri dongeng. Hampir sempurna menurutku. Aku hanya menyayangkan satu hal pada dirinya. Ia tidak berjilbab. Yah bukan berarti aku yang berjilbab lebih baik dari Vina.

Siang itu begitu terik. Keadaanku yang sedang menjalankan ibadah puasa membuatku berniat untuk merebahkan tubuh ini di ranjang asrama. Namun sejenak aku mengurungkan niatku saat aku melihat si bebek membawa beberapa kertas di tangannya. Terlihat sekumpulan kaligrafi dan cerita-cerita sahabat Rosulullah.

“Alim banget ni, anak! Oh mungkin cuma di bulan Ramadhan” Batinku. Aku mencoba menggodanya.

“Aku sangat suka kaligrafi,terutama yang ini. Bukankah ini bertuliskan Muhammad ?”
Aku mengambil kertas di tangannya. Goresan pensil ini memang terlihat sangat nyata. Namun aku mulai mendengar sayup suara Vina yang sedang mengucapkan bacaan surat Muhammad.

“ Ayo jangan bengong, buka  Qur’annya. Nanti kalau ada bacaan yang salah tolong di benarkan.”  Ia melanjutkan bacaannya. Seakan tamparan dari ilahi yang sedang mengingatkanku untuk memupuk ibadahku dibulan suci ini melewati sahabatku ini. aku pun mengucapkan istighfar dalam hati.

Aku sangat beruntung mempunyai teman seperti Vina. Sempat aku merenungi bahwa secara tidak sadar aku mendapat pelajaran untuk semakin giat menambah ibadahku melalui Vina. Tanpa ajakan ataupun perintah, aku merasa lebih tertantang untuk senantiasa memperbaiki diri. Bahkan perilaku Vina ini justru lebih mengena dibandingkan nasehat orang tua mapun guru ngajiku. Faktanya, bukan aku saja yang merasakan sindrom ini. beberapa panitia yang lain juga menuturkan hal yang sama seperti yang sedang aku alami. Ia seolah magician yang menghipnotis lingkungannya tanpa seolah menggurui atau memaksakan keinginannya. Ia selalu mengatakan bahwa kita harus senantiasa menyegarkan iman kita dengan amalan-amalan kita dan mengurangi segala maksiat yang kita perbuat. Bahkan ia sering menceritakan kisah-kisah teladan favoritnya tanpa terkesan ingin mendominasi. Entah semangat dari mana ia sangat girang saat membicarakan bulan yang sangat spesial ini.

Aku semakin intens melihat Vina muncul di sekitar sekretariat panitia. Tentu bersama kameranya yang sudah menjadi ciri khasnya. Wajah cupetnya lebih cepat menoleh ke arahku dibandingkan tanganku yang berniat menepuk bahunya.  Ia seakan melihat malaikat yang akan menjawab doanya.

“ Waduh Oca, aku mau ijin nih. Aku nggak bisa bantu di acara ini” Masih tetap dengan suara bebeknya.

“ Gampanglah ntar waktu absen aku bilangin deh. Emang mendesak banget ya?”

“Iya… aku mesti ke Pura dulu jam empat” Seraya memasukkan kamera ungu ke dalam tasnya. Ia langsung berlari meninggalkanku yang masih terpaku.

PURA????  Batinku bertanya-tanya. Vina adalah umat Hindu? Apa aku yang salah dengar? Jadi selama ini aku hanya sok tahu tentang dirinya. Aku mengira kami sudah saling memahami satu sama lain. Lalu kenapa ia menerima kepanitiaan ini?

Aku tak habis pikir mengingat ia sangat bijak dalam menyampaikan argumen-argumen nya tentang islam. Belum selesai rasa heranku , aku merasakan sesuatu yang bergetar disamping tempatku terduduk. Oh sebuah HP dengan panggilan masuk. Tapi Hp siapa? Ah Hp Vina. Iseng aku menerima panggilan itu tanpa bersuara. Kudengar suara wanita paruh baya Berbicara di suatu tempat keramaian. Dari nada bicara wanita ini, terdengar hal yang akan dibahas kali ini sangat serius. Kurasa dia menginginkan Vina untuk menjauhi orang-orang masjid atau ia tidak akan diakui sebagai anaknya. Sontak aku mengakhiri panggilan itu. aku merasa cemas dan bingung . Apa yang harus aku katakan pada Vina layaknya seorang teman?

***

Sorak sorai suara wisudawan masih terngiang jelas di telingaku.  Beberapa menit aku menikmati perasaan haru ini. Seakan aku hanyut dalam suasana yang melenakan saat ini. Aku dikejutkan dengan datangnya sebuah surat terbungkus rapi didalam amplop yang dibawa oleh salah seorang temanku.
“Dari siapa?” Tanyaku seraya merengkuh surat ditangannya.

“Aku hanya disuruh untuk memberikannya langsung kepadamu.” Selesai mengucapkan kata itu ia langsung kembali ke tempat duduknya. Entah kenapa akumerasa aneh saat menerima amplop itu. Aku hanya memasukkannya ke saku baju wisudaku.

Aku hanya dapat menatap gedung wisuda semakin menjauh dibalik kaca mobil. Terdengar ocehan bahagia kedua orang tuaku yang sedari tadi membicarakan beberapa rencana untuk masa depanku. Aku sendiri sibuk dengan walkman yang memutar beberapa lagu lawas. Beberapa lagu itu seolah mengingatkanku dengan Si Bebek Cina yang sudah lama hilang tanpa kabar.  Andai sahabatku datang pada hari yang bahagia ini. Tidak peduli akan sampai atau tidak, aku memutuskan untuk mengiriminya sebuah SMS.

Write message:
Gmn kbarmu? Kmn kau skrg? Jahat…
tdk ada tlp, tdk ada sms, tdk ada kbr pula…
Menghilang tanpa pemberitahuan.
Dasar Si Bebek jelek.

Selesai mengirim sebuah pesan itu, aku teringat dengan surat yang diberikan temanku sewaktu prosesi wisuda tadi, aku membuka amplop putih itu.
Assalamualaikum…
Gimana kabarmu, Oca? Mungkin hari ini adalah hari dimana aku melihatmu terlihat sangat cantik untuk pertama kalinya. Kurasa baju toga mu lebih serasi jika bersanding dengan seorang ikhwan yang akan menjadi calon suamimu.
Maaf telah menghilang selama ini, aku dikirim ke Australia untuk menjauhkanku dari masjid ini. Walau perkenalan sangat singkat namun aku sangat bahagia dapat bergabung dengan P3R. Dulu kita berkenalan saat ramadhan kini aku kembali dibulan yang sama pula. Benar-benar bulan yang sangat spesial. Tapi kini aku pulang bukan sekedar untuk melihat prosesi wisudamu melainkan SAYA INGIN MASUK ISLAM.

Si Bebek Comel

Aku terkejut mendapat surat itu, sontak aku langsung berteriak meminta untuk putar balik. Namun nasib baik belum menyertai kami. Mobilku menabrak seorang akhwat berjilbab di pinggir jalan. ku lihat dibalik kaca mobilku dengan tangan gemetar. Sesosok muslimah tergeletak dengan bercak darah segar di jilbab biru muda yang dikenakannya. Semua orang berlarian ikut mengevakuasi sang akhwat  malang itu.

Saat perjalanan ke rumah sakit, akhwat bertubuh mungil ini menggenggam tanganku. Kini aku menyadari bahwa ia adalah Si Bebek, sahabatku yang selama ini menghilang. ia mengisyaratkan untuk membimbingnya bersyahadat. Dengan air mata yang bercucuran aku pun menuntunnya dengan hati-hati. Akhirnya ia pergi setelah mengucapkan syahadat pertama dan terakhir kalinya di bulan yang sangat ia agungkan. Aku percaya, ia telah islam saat bertemu denganku dan ia adalah orang yang dikirim oleh Allah sebagai penyegar imanku.

Oleh: Eva novitalia, Pekalongan

Menunduklah, Semua akan Menjadi Milikmu


Setiap orang pasti mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, menyayangi orang yang memenuhi kebutuhannya dan membenci orang yang  berbuat jahat dan merugikan dirinya. Seorang penyair Arab berkata,”

أحسن إلى الناس تستعبد قلوبهم … فطالما استعبد الإنسان إحسان

baiklah kepada orang lain, maka kamu akan memperbudak hatinya,
     Sejak lama manusia diperbudak oleh perlakuan baik orang lain”

Berbuat baik tidak harus dalam bentuk skala besar atau luas jangkauannya. Skala kecil yang riil dan tertib urut – urutannya lebih baik daripada besar tetapi baru dalam taraf obsesi atau angan – angan. Kebaikan yang dilakukan dengan dimulai dari lingkungan terdekat lebih baik baik daripada yang dimulai dari lingkungan terjauh.

Komunitas terdekat dengan kita adalah komunitas keluarga dan para kerabat. Rasulullah SAW bersabda,” sebaik – baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan akulah orang yang terbaik terhadap keluargaku “ HR.Turmudzi, Baihaqi dan Thabrani. Ketika Siti Aisyah RA ditanya mengenai kebiasaan Nabi didalam rumah , dia menjawab,” beliau turut mengerjakan pekerjaan rumah di dapur, jika tiba waktu shalat, beliau berwudhu’ dan keluar untuk shalat “ HR. Bukhari, Ahmad dan Turmudzi.

Kemudian tetangga, karena pagar – pagar rumah terbaik bukan besi tralis, aluminium, besi baja atau benteng tembok yang tinggi, tetapi tetangga yang baik dan  mencintai kita dengan sepenuh hati. ,” Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya”.HR.Bukhari.

“ Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga berobsesi untuk saudaranya atau ( beliau berkata ; tetangganya ) seperti obsesinya untuk dirinya sendiri “ HR.Muslim dan Ahmad. Tetangga disini bisa diperluas bukan sekedar orang – orang yang tinggal disekitar rumah kita, tetapi juga tetangga pekerjaan, jabatan, profesi dan mereka yang memilki aktivitas yang berdekatan dengan aktivitas kita. Berusahalah mencintai tetangga, mulai dengan mengucapkan salam setiap kali berjumpa, menjenguknya dikala sakit menghampirinya, menghibur dikala sedih karena musibah yang menimpanya,  berbahagia atas kebahagiaannya, tidak lupa berbagi rizki, tutupi aibnya dan jangan mencari – cari keburukannya. Rasulullah SAW bersabda,” Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman,”, kemudian ada seseorang yang bertanya,” siapakah orang itu wahai Rasulullah ?”. “ Dialah orang yang tetangganya tidak bisa nyaman dari keburukannya “, jawab beliau ” HR. Bukhari. Orang yang sukses melakukan kebaikan kepada orang – orang yang berada nun jauh disana, tetapi acuh teradap lingkungannya, sebenarnya dia bukan orang baik dan sukses. Pasti karena ada kepentingan lain dibalik itu semua. Dan orang tersebut akan menerima kerugian yang banyak dikemudian hari.

Setela itu mitra kerja atau partnermu; jika kamu seorang dokter, maka pasienmu, jika kamu guru atau dosen, maka murid atau mahasiswamu, jika kamu seorang pegawai negeri atau swasta, maka setiap orang yang ada kepentingan dengan tugas – tugasmu, jika kamu seorang sopir, maka para penumpang dan kondektur atau kennekmu,dan begitu seterusnya. Berperilaku simpatik kepada mereka akan melahirkan kekompakan, dan kekompakan merupakan syarat utama bagi kesuksesan. Ingat, sesuatu yang sulit dan berat, akan menjadi mudah dan ringan dengan adanya kekompakan. Dan begitu juga sebaliknya. Saya kira, semua sepakat dengan pepatah yang berkata ,” Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh ( bukan kawin lagi ) “.

Meskipun pepatah tadi diajarkan sejak diseluruh sekolah dasar di negeri kita tercinta ini, kenyataannya ; lain teori, lain pula prakteknya.   Aparatur negara – sebagai penerima amanah – banyak yang menunjukkan arogansinya kepada rakyatnya, tidak serius dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, bahkan terkadang sengaja mempersulit sesuatu yang mestinya mudah. Muncul anekdot,” kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah “. Maka jangan tiru mereka itu, dan semoga kita tidak termasuk orang yang mendapatkan perlakuan  tidak bersahabat tersebut. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda,” barangsiapa yang oleh Allah diangkat untuk mengurus urusan kaum muslimin, lalu dia memperlambat pemenuhan kebutuhan mereka dan persahabatan serta kefakiran mereka, maka Allah akan bertindak demikian pula kepada orang tersebut di hari kiamat kelak “.

Penting bagi kita untuk membumi atau menjiwai ” bumi ” yang banyak memberi tanpa pamrih. ” dari bumi kami menciptakan kamu, dan kepadanya kami mengembalikanmu dan darinya kami keluarkan kamu dilain kali ” QS : Thaha ; 55. Menunduk bukan berarti takluk, mengalah bukan berarti kalah,  dengan menghilangkan arogansi “api“ lalu menjadi “bumi“, berarti kita membentangkan ruang tempat tumbuh berkembangnya biji-biji kemanusiaan, persahabatan dan kedamaian serta keakraban antar sesama. Mau apa tidak, jawab sendiri ?!.

Kebiasaan mengabaikan lingkungan terdekat, akan sangat merugikan diri sendiri. Bukankah mereka itu orang – orang yang lebih sering ketemu dengan kita ? Siti Khadijah RA pernah memberikan ilustrasi mengenai kepribadian Rasulullah SAW yang amat indah mempesona ,” sesungguhnya Engkau orang yang menyambung persaudaraan, mau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga, memberi mereka yang papa, menghormati tamu dan membantu orang – orang sedang dalam kesusahan “HR. Bukhari – Muslim. Sangat disayangkan bukan, jika semangat menghidupkan sunnah Rasul hanya sekedar menyentuh hal – hal yang bersifat assesoris belaka, seperti baju gamis dan jenggot.

Author: Muzammil, Yogyakarta


Senin, 21 Oktober 2013

Gunung Sebelah








Bertaubat, Tapi Masih Berbuat Dosa



Apakah taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang lain masih tetap dilakukan?
Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang keduanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma’ tentang sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawy dan lain-lainnya.

Memang masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepastian untuk salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus disertai dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah bahwa selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang berarti dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah sekalipun dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari kedurhakaan itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun dia masih melakukan dosa lain.

Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam merupakan satu keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena kekuatan, pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak lebih cenderung mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang mengikuti agama tuannya.

Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada Allah, yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan beribadah kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan ampunannya kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap sah.

Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum dianggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?

Memang taubat itu bisa dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksanaannya yang berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat hukuman berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan dihukum berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia harus bertaubat dari dosa itu.

Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang dimurkai Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diperbuat.

Jika taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum dianggap sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan seba-gian di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.
Ada pula yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang khusus baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan dengan dosa lainnya.

Menurut pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak dianggap sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap dikerjakan. Sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, sekalipun ada dosa lain yang tidak berkait dengannya masih tetap dilakukan.
Contohnya, seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat dari dosa minum khamr atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari riba ini dianggap sah. Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak bertaubat dari riba nasi’ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah.

Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia tetap berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat dari dosa tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya yang serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurhakaan ke kedurhakaan lain yang tidak serupa.

Bertaubat, Tapi Berbuat Dosa yang Sama
Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang bertaubat untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah tidak ada syarat seperti itu?
Sebagian orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa yang sama. Jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya tidak sah. Namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sahnya taubat tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menyesalinya dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalahannya menyangkut hak manusia, maka apakah disyaratkan pembebasan hak itu? Masalah ini harus dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melakukannya, padahal dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.

Permasalahan ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika seorang hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya kembali, maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi, sehingga dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan yang terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu? Dengan kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya? Ataukah dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?
Dalam hal ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat, dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap batal. Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu menghapus segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad, maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambah dengan dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash Shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan yang terakhir.”

Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan setelah dia masuk Islam.  Sebagaimana yang diketahui, murtad merupakan keburukan yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa berikutnya.

Masih menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan kelangsungannya. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat akan dianggap musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang disyaratkan dengan kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini ditunjukkan sebuah hadits shaliih, yaitu sabda beliau,

“Sesungguh-nya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal penghuni surga, sehingga jarak antara dirinya dan surga itu hanya sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam neraka.”

Dalam As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun. Menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya, sehingga dia masuk neraka.” Kesudahan yang buruk lebih umum dari sekedar kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu diukur dari kesudahannya.

Apabila ada yang berkata, “Berarti kebaikan terhapus oleh keburukan”, maka ini adalah pendapat golongan Mu’tazilah. Sementara Al Qur’an dan As-Sunnah memberitahukan bahwa kebaikanlah yang menghapus keburukan, bukan sebaliknya, seperti firman Allah,

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapusnya, dan gaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Hal ini bisa dijelaskan, bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah telah memberitahukan timbangan terhadap kebaikan dan keburukan. Sebagian isi Kitab Allah tidak akan bertentangan atau menggugurkan sebagian yang lain, dan Al-Qur’an tidak bisa disanggah oleh pendapat golongan Mu’tazilah. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan tentang amal yang bisa gugur karena perbuatan tertentu, seperti firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 264).

Jika sudah ada kejelasan tentang kaidah syariat, bahwa sebagian keburukan itu ada yang bisa menggugurkan kebaikan, maka keburukan melakukan dosa kembali juga bisa menggugurkan kebaikan taubat, yang membuat taubat itu seakan-akan tidak pernah terjadi. Dengan begitu tidak ada lagi pembatas di antara dua dosa itu, yaitu dosa pertama dan dosa yang diulangi lagi.

Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ sudah menjelaskan adanya timbangan. Faidahnya untuk mengetahui mana yang lebih berat timbangannya, sehingga pengaruhnya tertuju bagi yang lebih berat dan mengabaikan yang lebih ringan. Ibnu Mas’ud berkata, “Pada hari kiamat manusia akan dihisab. Barangsiapa keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, walaupun hanya selisih satu saja, maka dia masuk neraka. Barangsiapa kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, walaupun selisih satu saja, maka dia masuk surga.” Kemudian dia membaca ayat,

“Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri.” (Al-A’raf: 8-9).

Kemudian Ibnu Mas’ud berkata lagi, “Timbangan itu bisa menjadi ringan atau menjadi berat karena amal yang seberat biji-bijian. Barangsiapa kebaikan dan keburukannya sama, maka dia termasuk penghuni Al A’raf (antara surga dan neraka).”

Ini artinya, apakah yang kuat akan menghapus yang ringan, sehingga seakan-akan yang ringan itu seperti tidak pernah ada sama sekali, atau kedua belah pihak cukup hanya dengan ditimbang dan kesudahannya diberikan kepada bagian yang lebih berat? Jika kebaikannya lebih berat, apakah dia mendapat pahala dan tidak disiksa atas keburukan yang dia lakukan? Atau jika keburukannya lebih berat walau hanya selisih satu keburukan saja, apakah dia dilemparkan ke dalam neraka?
Tentu saja semua ini harus dikembalikan kepada golongan yang melihat berlakunya alasan dan hikmah. Jika manusia selamat dari syirik umpamanya, yang merupakan dosa yang tidak diampuni Allah, maka tidak ada amalnya yang sia-sia dan tidak ada pahalanya yang dikurangi.
Timbangan atas kebaikan dan keburukannya kembali kepada pengaruh pensucian jiwa, karena masing-masing akan mendapatkan derajat sesuai dengan amalnya. Sementara tidak ada yang bisa mengetahui kemantapan pensucian jiwa yang bisa menyelamatkan orang Mukmin dari siksa kecuali Allah semata. Dengan jawaban ini, maka beberapa ayat yang menjelaskan masalah pahala, amal dan timbangan bisa dikompromikan. Tetapi gugurnya amal mempunyai tanda-tanda yang bisa diketahui orang yang menghisab dirinya.

Sedangkan golongan Jabariyah yang tidak melihat berlakunya alasan, sebab dan hikmah, pahala dan siksa, menolak semua ini. Karena semua perbuatan dan perkataan manusia menurut mereka ada di Tangan Allah, sementara mereka tidak tahu apa yang dikehendaki Allah. Sehingga orang yang lebih banyak kebaikannya pun bisa mendapat siksa dan orang yang lebih banyak keburukannya pun bisa mendapat pahala.

Sedangkan golongan lain berpendapat bahwa dosa pertama tidak kembali kepada pelakunya karena taubatnya yang batal atau rusak. Sebab dosa itu sudah diampuni karena taubat, sehingga sama dengan sesuatu yang belum pernah dikerjakan dan tidak pernah terjadi. Yang kembali kepadanya adalah dosa setelah taubatnya yang rusak dan bukan yang sebelumnya. Keabsahan taubatnya tidak disyaratkan dengan adanya kema’shuman dirinya dari kesalahan hingga akhir hayat. Tapi jika dia menyesal, melepaskan diri dari dosa yang lalu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, maka dosanya itu dihapuskan. Jika kemudian dia mengulanginya lagi, maka dosanya terletak pada pengulangan itu. Hal ini tidak bisa disamakan dengan kufur yang menggugurkan semua amal. Kufur merupakan kondisi tersendiri yang menghapus semua kebaikan. Sementara mengulang kembali dosa yang sudah dimintakan taubat tidak menggugurkan kebaikan-kebaikan yang lampau.

Taubat adalah kebaikan yang paling besar. Andaikan kebaikan ini terhapus oleh dosa yang dilakukan kembali, tentunya semua kebaikan yang lampau juga ikut terhapus. Tentu saja logika ini tidak bisa diterima, karena mirip dengan pendapat Khawarij yang menghapus semua dosa, atau mirip dengan pendapat Mu’tazilah yang menganggap semua pelaku dosa besar berada di neraka selama-lamanya, sekalipun dia mempunyai sekian banyak kebaikan. Sementara dua golongan ini tertolak dalam Islam, karena pendapat-pendapat dua golongan ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan nash. Allah befirman,

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang pun walau seberat dzarrah, dan jika ada kebajikan seberat dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 40).

Tentang keberlangsungan taubat, maka itu merupakan syarat kesempurnaannya, bukan merupakan syarat sahnya taubat untuk dosa yang telah lampau. Tidak demikian halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa selama sehari penuh dan bilangan-bilangan rakaat shalat, karena ini merupakan satu bentuk ibadah tersendiri, yang tidak bisa diterima kecuali dengan mengikuti semua rukun dan bagian-bagiannya yang sudah baku. Tapi taubat merupakan ibadah yang bilangannya banyak, tergan-tung dari banyaknya dosa. Satu dosa mempunyai satu taubat secara khusus.

Perbandingannya, seseorang puasa Ramadhan. Pada suatu hari dia makan tanpa ada alasan yang diperbolehkan. Apakah hari batalnya puasa ini menggugurkan pahala hari-hari lain yang diisi dengan puasa? Apakah orang yang tidak berpuasa menghapuskan pahala shalat fardhu yang dikerjakannya? Inti permasalahan ini, bahwa taubat adalah suatu kebaikan sedangkan mengerjakan dosa kembali adalah suatu keburukan.

Pengulangan dosa ini tidak membatalkan kebaikan. Ini lebih dekat dengan prinsip Ahlus-Sunnah, bahwa seseorang terkadang menjadi orang yang dicintai Allah dan juga dimurkai-Nya, terkadang di dalam dirinya ada iman dan juga nifaq, iman dan juga kufur.

Tips Menjadi Teman yang Dirindu






Setiap peristiwa di muka bumi ini adalah potongan-potongan mozaik, terserak disana sini. Tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang, namun ia akan bersatu perlahan-lahan membangun siapa diri kita. Lalu apapun yang kita kerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam keabadian (sang pemimpi. Andrea Hirata).
Sebelum penulis memberikan tips ini saya mau beritahu tahu, nih. Di sini ada 4 jenis manusia, yaitu manusia wajib, manusia mubah, manusia sunnah dan manusia haram. Nah coba dech renungkan kira-kira sahabat semua ada di posisi mana, yaa..???
Tsaa… maniskan, okey kita mulai, ya! Sebelum baca senyum dulu, dunk!!!
Manusia wajib : kehadirannya sangat membantu dan ketidakhadirannya membuat orang merindu.
Manusia sunnah: kahadirannya bermanfaat, ketidakhadirannya nggak apa-apa.
Manusia mubah: hadir atau tidak adanya dia tidak berpengaruh apa-apa.
Manusia haram: kehadirannya membawa malapetaka dan ketidak hadirannya membuat orang lega.
So… sahabat ada di posisi mana, nih ?  Mungkin diri kita pribadi pernah berada di posisi teratas atau juga berada diposisi paling bawah. Nah, sekarang penulis akan membongkar rahasia bagaimana menjadi manusia wajib. Sepakaaaat..???
Senyum tanda mesra, senyum tanda sayang, senyumlah sedekah yang paling mudah lirik nasyid raihan. Hanya senyuman yang tulus yang bernilai pahala di sisi Allah. Jangan senyum dibuat-buat karena itu akan membuat merasa tidak nyaman. Ada baiknya mempraktikkan rumus terjitu ini senyum dengan rumus 2 2 5, senyum dengan lebar 2cm ke kanan, 2cm kekiri tahan 5 jam. Eh.. nggak ding, maksudnya 5 detik. Hehehe…
Haram hukumnya jika tersenyum saat objek masih berada di 100 meter dari tempat kita berada (takutnya kita di sangka gila mas, bro..! gaswat kan). Tersenyumalah dengan tulus.
Sapalah dengan kehangatan. Buatlah dirinya merasa bahagia dan senang, jika bertemu dengan kita. Bukan malah mengolok-olok atau mengejek sampai merendahkan dirinya. Renungkanlah (Qs Al-hujurat 11). Jabat tangannya dengan antusias. Eeiiit… adegan ini khusus untuk yang mahrom (yang tidak boleh dinikahi) paham..! Ada baiknya kita merangkul erat tanda persahabat yang sangat harmonis karena menurut penelitian berjabat tangan penuh dengan semangat akan membuat dirinya merasa nyaman dan terjalin dalam hati.
Mendengarkan terlebih dahulu.  Untuk yang satu ini banyak dari kita saat berkomunikasi ingin lebih dahulu didengarkan tanpa peduli dengan lawan bicara. Padahal prinsip komunikasi yang baik yaitu dengarkan terlebih dahulu jangan memotong pembicaraanya apalagi saat lawan bicara sangat antusias menjelaskan.
Ikut gerakan lawan bicara. Dalam sebuah penelitian, jika kita mengikuti gerakan lawan bicara 7 detik setelah ia melakukan gerakan tertentu hal ini menimbulkan kenyamanan perasaan sama antara komunikator dan komunikan. Itupun dengan cara ketidak sengajaan.  Coba dech praktekan jika kita berkomunikasi dengan orang yang kita senangi tanpa sadar kita mengikuti gerakannya begitu juga sebaliknya jika kita berkomunikasi dengan orang tidak kita senangi maka timbul perasaan tidak nyaman.
Samakan frekuensi. Sebaiknya kita harus pahami dulu karakter lawan bicara apakah dia orang visual, auditori. Jika dirinya bertipe auditori maka mulailah dengan kata-kata “terdengarnya seperti…., saya dengar…”, jika dirinya bertipe visual maka mulailah dengan kata-kata  “ saya lihat…., bagaimana pandangan Anda…”.
Tatap lawan bicara. Ingat ya ! konteks ini bukan untuk lawan bicara. Tataplah matanya, sehingga ia yakin bahwa dia di hargai keberadaanya.
Anggukkan kepala setiap 5 menit sekali jika mengerti. Karena itu pertanda kita mengerti.dengan penjelasan atau ceritanya.
Ingat namanya.
Sering kita bercakap-cakap dengan seseorang yang baru di kenal. Lalu di akhir pembicaraan yang sudah berdurasi lebig dari 2 jam itu, ia bertanya. “maaf saya lupa, Anda siap ya ?” Bagaimana coba perasaan kita pasti kecewakan? Nah, dari pada itu kita harus ingat selalu namanya agar kita menjadi pribadi yang dirindukan.

uang download

 
Template designed by Liza Burhan