Rabu, 13 November 2013

ALEXANDRIA



Dentuman keras membangunkanku dari tidur. Saat kubuka mata dengan perlahan, kurasakan rumahku bergetar keras. Satu-satunya cermin mendiang ibu juga hancur berantakan. Lamat-lamat terdengar suara gemuruh jerit tangis menjadi satu dalam shimphony kematian.

Aku melangkah dengan tergesa keluar, membuka pintu untuk sekedar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Begitu jelas terlihat dari ambang pintu, orang-orang berhambur di depan gereja Al-Qiddisine, di antara kobaran api yang terus saja menjadi. Berteriak sekuat tenaga, takut akan sesuatu yang bernama kematian mengambil paksa kebahagiaan duniawi mereka.

Aku terpaku tanpa bisa berbuat suatu apapun. Mataku linglung, tubuhku gemetar, wajahku pasi. Namun aku teringat satu hal…

“Ayah…! kak Emir…!” aku berteriak sekuat tenaga lantas berlari menuju kobaran itu tanpa ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.


31 desember 2010 pukul 19.30 waktu Alexandria, Mesir

“Sudahlah Ahmed, biar Kakak dan Ayah saja yang berjualan, kamu tidur saja,” kak Emir berucap lalu mengelus lembut rambutku.

“Iya nak, betul apa kata kakakmu. Lagipula disana kau juga tidak bisa berbuat apa-apa, paling hanya menyaksikan saja” Ayah berucap tanpa menatapku. Ia tengah sibuk memilih dan memilah satu persatu uban yang mulai memenuhi kepalanya yang renta dengan bercermin di depan cermin rias mendiang Ibu yang juga merupakan satu-satunya cermin di rumah kumuhku ini. Karena memang, seluruh harta benda dan perabotan telah terkuras habis demi menyembuhkan penyakit ibu yang tak jua menuai hasil hingga kemudian mambuat ibu terpejam untuk terbang menuju keabadian, meninggalkanku, Ayah juga kak Emir yang masih butuh belaian lembut seorang Ibu, dan menyisakan luka yang kemudian merambat, berubah menjadi kerinduan yang sangat dan hanya mampu terobati oleh cermin rias Ibu yang terus saja kami jaga dari sentuhan logam-logam pound, sebagai oase kala rindu perlahan merasuk, mengembalikan kami pada saat-saat masih bersama sebagai sebuah keluarga yang utuh.

“Tapi Ayah…”

“Sudahlah Ahmed,” Ayah memutus ucapanku “Ayah mengerti betul persaanmu. Ayah sangat bangga memiliki anak sepertimu. Karena, meskipun kau masih kecil, fikiranmu jauh lebih dewasa. Namun tetap saja nak, kau masih kecil, dan usiamu pun baru besok genap delapan tahun. Jadi lebih baik kamu sekarang tidur saja, biar besok ayah bawakan kado spesial untuk ulang tahunmu ya nak…” 

Ayah berkata lalu perlahan membaringkanku, menyelimutiku dengan penuh kasih sayang.

“Orang-orang sudah mulai berdatangan di luar. Ayah berangat dulu, Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Ayah beranjak keluar rumah diikuti kak Emir di belakangnya, membuka pintu perlahan, lalu melangkah menuju kios dagangan yang kami bangun bersama di depan gereja Al-Qiddisine sejak siang tadi, di antara terik dan udara padang sahara yang begitu panas.

Aku kemudian bangun, beranjak mendekati pintu. Dapat dengan jelas kulihat Ayah dan kak Emir menjajakan terompet yang satu demi satu kami buat dengan susah payah, lalu dijual denga harga lima belas pound, harga yang kami kira tidak sepadan dengan kucuran tenaga dan keringat yang kami keluarkan. Tapi apalah daya kami? sebuah keluarga pinggiran kota Alexandria yang indah, yang hanya menggantungkan nasib pada pekerjaan musiman.

“Ayo terompet Pak, Buk, Kakak, Ade’ ayo tahun baru twut… twut…” tedengar samar suara kak Emir menjajakan terompet. Ia kemudian berjingkrak bahagia saat ada orang yang datang membelinya, seperti halnya aku disini yang merasakan hal yang sama.

01 januari 2011 pukul 01.00 waktu Alexandria

Darrrr!!!

Suara keras itu membuatku terperanjat. Kututup telinga karena suara itu begitu terasa memekakkan telinga. Kuedarkan pandang, yang kulihat hanya pecahan cermin mendiang ibu bertebaran.

“Ya Allah…, ada apa ini ya Alllah…”

Dengan tergesa aku berjalan menuju pintu saat gaduh teriakan orang-orang semakin membuat panik suasana. Dari ambang pintu, aku melihat orang-orang berhambur keluar gereja dengan histeria teriakan: jeritan, tangissan, rintihan, semua kudengar saat itu bercampur menjadi satu dalam histeria ajal biru.

“Teroris…!!! Teroris…!!! Teroris…!!!”

Seksama kuperhatikan, sebuah mobil terbakar tepat di depan gereja itu, juga di depan…

“Oh, tidak…!!!, Ayah…! kak Emir…!” Aku terperanjat kemudian berlari menuju kobaran itu saat kulihat kios dagangan Ayah terbakar bersama beberapa terompet yang masih tersisa.

“Ayah…!!! kak Emir…!!!” Aku berteriak sekuat tenaga, berharap Ayah dan kak Emir tetap baik saja. Namun, belum sampai lima langkah kakiku berlari ada seseorang yang tiba-tiba saja menghentikanku.

“Jangan mendekat nak…!!! jangan…!!! Tangki mobil itu bocor, nanti mobilnya meledak lagi…!!!” orang itu berteriak kemudian membawaku menjauh dari kobaran.

Aku tetap saja meronta sekuat tenaga, tak peduili pada apa yang akan dan telah terjadi disana. Yang kuingin hanya Ayah dan kak Emirku kembali, karena hanya merekalah keluargaku kini.

“Ayah…!!!, kak Emir…!!!”

“Ayah, ayah kak Emir…!!!”aku kembali meronta, namun orang itu semakin kuat saja membawakaku menjauh dan tetrus menjauh dari kobaran itu.

Kali ini aku meronta lebih keras. Kugigit tangan orang yang sedari tadi mengahalangiku dengan kuat. Ia menjerit keras, dan aku pun terlepas. Segera aku berlari menuju kobaran itu tanpa sedikitpun ragu dan takut pada apa yang akan terjadi setelah itu.

Saat hawa panas mulai menyengat kulit, aku berhenti berlari. Aroma bensin terasa begitu menyengat di antara kobaran api yang terus saja menjadi. Aku tercengang bahkan seluruh tubuhku kaku saat begitu jelas terlihat dari dua kornea mataku dua sosok tubuh rebah tak berdaya di bawah kios dagang Ayah yang terbakar dengan tubuh yang penuh anyir darah.

“Mungkinkah itu Ayah dan kak Emir?” aku bertanya pada diriku sendiri dengan suara lirih, juga dengan harapan-harapan yang tiba-tiba saja gugur satu persatu, jatuh bersamaan dengan air mataku.

Aku langkahkan kaki mendekat dan terus mendekat, tak peduli pada hawa panas yang saaat ini mulai tidak lagi kurasaakan, karena rasaku telah bercampur, berbaur dengan kekhawatiran yang sangat.

Aku kemudian merunduk, memperhatikan dengan seksama sosok yang berlumuran darah, dan…

“Asttaghfirullah Ayah…!!! kak Emir…!!!” Aku menjerit sekeras-kerasnya, karena memang benar sosok itu Ayah dan kak Emirku. Aku menagis tersedu, membayangkan suatu hal yang tidak pernah kuharap, dan terlanjur terjadi kini.

“Ahmed… nak…” terdengar suara Ayah lirih.

“Cepat pergi dari tempat ini nak…! cepat…” ayah merintih menyuruhku untuk menjauh.

“Tidak ayah…, aku ingin tetap bersama Ayah, bersama kak Emir…!” aku berucap datar, tak terasa air mataku mengalir.

Dan tiba-tiba…

Darrrr!!!

Mobil yang tepat berada di samping kiriku kembali meledak, membuatku terlempar beberapa meter dari tempatku tadi berdiam.

“Oh tidak… Ahmed…!!!” Ayah menjerit dengan sisa-sisa kekuatannya.

Kurasakan ada yang perih di sekitar kepalaku, kedua tangan, bahkan seluruh tubuhku. Saat kuperhatikan seksama, anyir darah juga melumuri sekujur tubuhku. Dengan sisa kekuatan, aku merangkak menuju Ayah dan kak Emir yang tergolek lemas, entah bernyawa atau tidak.

Aku terus saja merangkak, sedang tetesan darah semakin banyak saja mengucur dari tubuhku. Kurang dari satu meter jarakku dengan Ayah, kurasakan sakit, perih, dan nyeri yang sangat, membuatku terkapar tak berdaya di antara kematian dan memoar-memoar keindahan yang tiba-tiba saja terbayang.

“Tuhan…!, jika kau memang menakdirkan kami mati di sini, di tempat ini, maka cabutlah roh kami dalam dekapan kebersamaan. Aku mohon tuhan…! aku mohon…!” ucapku lirih, kemudian menggeserkan tubuhku sedikit demi sedikit, mencoba menggapai tangan Ayah dan tangan kak Emir yang tak lagi kulihat bergerak.

“Ayah…! Kak Emir jangan tingalkan aku lebih dulu. Marilah kita terbang bersama…” batinku berharap.

Dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa, aku terus saja mencoba menggapai tangan Ayah dan tangan kak Emir yang kurang setengah meter dari gapaiku. Mengeserkan badan sedikit demi sedikit, hingaga kemudian sampailah pada apa yang menjadi tujuanku.

Kupegang erat-erat tangan Ayah dengan tangan kiriku, juga tangan kak Emir dengan tangan kananku. Tiba-tiba saja memoar-memoar keindahan kembali berkelebat di hadapanku, membuatku tersenyum kecil lalu perlahan gelap dan terus saja gelap, dan setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Hal terakhir yang kuingat darah kami menyatu dalam shimphoni ajal biru.

0 komentar:

Posting Komentar

uang download

 
Template designed by Liza Burhan