Rabu, 13 November 2013

"AYAHKU BUKAN USTADZ BADUT"




“Ayah lucu kayak badut!” ujar adikku yang paling kecil.

Sakit hatiku mendengar kalimat itu meluncur deras dari bibir mungil adik bungsuku yang belum mengerti apa-apa.

“Bagaimana kalau kita panggil saja ustadz badut!” teriak salah seorang anak yang sedang duduk di pojok.

Warga kampung lain yang berkumpul di ruangan sempit ini tertawa terbahak-bahak. Seperti itukah pandangan mereka terhadap ayahku? Aku malu. Harusnya ayah tak melakukan semua ini. Cukup jadi seperti ayah yang dulu, aku bahagia.

Aku meninggalkan para tetanggaku yang masih asyik menyaksikan tayangan siraman rohani di televisi. Televisi ini baru datang ke rumahku tadi siang. Orang yang mengantarkannya bilang televisi tersebut kiriman dari ayah di kota. Di kampung ini, televisi memang masih menjadi barang mewah. Orang yang memilikinya dapat di hitung dengan jari. Oleh karena itulah, setelah mengetahui ada TV di rumahku, para tetangga datang berbondong-bondong untuk menonton bersama.

Sejak ada TV, rumahku selalu ramai setiap malam karena para tetangga sangat senang menyaksikan ayah yang berceramah di TV. Namun di siang hari, rumahku kembali sepi. Aku membiarkan mereka begitu saja datang dan pergi sesuka hati mereka. Aku bahkan tidak peduli jika mereka ingin membawa TV itu pergi.

Aku bergeming dalam diamku. Sudah dua hari ini aku tidak keluar kamar kecuali untuk hal-hal penting saja. Setelah mendengar bahwa ia akan pulang aku jadi tidak berselera melakukan apa pun lagi. Untuk apa dia pulang? Umpatku dalam hati. Aku bahkan tak sudi untuk menyambutnya.

Semua orang sibuk menata rumah sedemikian rupa hanya untuk menyambut kedatangannya. Para tetangga seolah tak ada yang mau ketinggalan menyumbang jejak kaki mereka di rumah ini. Rumahku siang hari ini mendadak ramai seperti pasar tradisional yang baru buka.

Keesokan harinya, kampung ini benar-benar ramai, lebih ramai dari upacara penyambutan kepala desa yang baru menjabat bahkan dari acara pernikahan putri Pak Kades dulu. Ibu-ibu memakai kebaya terbaiknya yang di setrika licin. Para pria tampak gagah dengan batiknya dan rambut mengilap karena kelebihan olesan minyak jelantah. Aku sendiri tidak tahu sejak kapan bapak-bapak di kampung ini punya baju batik. Aku juga baru tahu bahwa para pemuda dan pemudi kampung ini juga bisa berdandan dengan rapi. Anak-anak kecil nampak riang berkejaran dengan kawan sepermainannya. Mereka berlari, berteriak dan menjerit bahkan ada yang menangis karena pakaian yang baru dibelikan ibunya kotor terinjak-injak anak lainnya. Pokoknya keceriaaan mereka hari ini melebihi susana gembira menyambut hari raya.

Kalian tahu siapa yang sedang mereka nanti-nantikan? Bukan sang presiden atau para menteri yang mereka tunggu-tunggu. Kalian tahu sendiri kan bahwa ini bukanlah masa-masa kampanye. Pemilihan umum masih jauh di depan mata. Jadi, tidak mungkin ada kunjungan semacam itu. Aku tidak yakin jika kalian akan percaya jika kuberitahu siapa yang sedang mereka tunggu. Aku juga sebenarnya malas untuk memberitahu kalian mengenai hal ini. Ayahku. Ya, mereka sedang menunggu si Ustaz Badut itu. Sekali lagi aku tegaskan bahwa mereka hanya menunggu seorang petani yang sedang naik daun karena dakwah guyonannya. Ah, memang apa gunanya?

Selepas upacara penyambutan dan ramah tamah dengan warga kampung, ayah masuk ke kamarku. Nampak kelelahan tergambar di antara kerutan-kerutan di keningnya. Tapi aku sudah tak peduli.

“Ri, kok orang-orang manggil ayahmu ini Ustaz Badut ya? Lucu sekali, ayah jadi ingin tertawa,” ujarnya memulai pembicaraan.

Entah sengaja atau ia memang benar-benar tidak tahu, ia sungguh membuka pembicaraan ini dengan kalimat yang salah. Ia menyebut dua kata itu: Ustaz Badut. Dua kata yang paling ku benci sebagaimana aku membenci orang yang mendapat julukan itu.

“Lucu? Tertawa saja jika itu memang lucu bagi ayah!” Teriakku sinis.

Ayahku nampak kaget dengan sikap ketusku. Ia terdiam. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menumpahkan semua kekesalanku.

“Kau bukan ayahku. Ayahku tidak seperti ini. Ayahku adalah lelaki sederhana yang selalu melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Ayahku adalah guru bagiku dan guru bagi semua anak kecil di kampung ini. Ayahku adalah yang mengajar alif ba ta dengan sabar tanpa pamrih. Ayahku adalah petani yang tak pernah mengeluh meski bekerja di bawah terik matahari. Ayahku tak pernah rela menjual agamanya demi uang. Dulu aku bangga dengan ayah, tapi sekarang? Hhh, aku kecewa,” ujarku sinis.

Ayahku tetap membisu. Rupanya ia masih menunggu kata-kata berikutnya dari mulutku. Ayah mengambil tempat di sisiku. Ia memandangiku cukup lama sebelum akhirnya berbicara.

“Ayah tahu, tak ada alasan kuat ayah membela diri. Tapi kau tahu kan masyarakat kita sudah bosan dengan ceramah yang disampaikan oleh para ustaz yang intelek dengan titel mereka yang macam-macam itu. Lihatlah tetangga kita! Kau tahu sendiri mereka mulai memilih-milih siapa yang menyampaikan ceramah saat ada rencana pengajian. Mereka akan mencari tahu dulu siapa yang akan memberikan ceramah. Jika penceramah adalah kiai atau ustaz yang serius, maka majlis akan kosong melompong. Sedangkan jika si ustaz itu menyampaikan ilmu agama sambil menyisipkan lelucon mereka akan lebih tertarik sekalipun ustaz itu hanyalah orang kampung seperti ayah.” Ujar ayah memberiku penjelasan.

Aku tetap tak bisa terima dengan alasan ayah tersebut. Bagaimana pun juga ayah telah membuatku malu dengan julukan sebagai anak dari Ustaz Badut.

“Oh, jadi ayah pikir mereka hanya akan mengaji jika para ustaz yang senang membuat guyonan seperti ayah yang mengajari mereka. Begitu? Ayah benar-benar telah berubah. Aku kecewa pada ayah!”

Sekali lagi kata ‘kecewa’ itu meluncur dari mulutku. Wajah ayahku tertunduk lemas. Desisan lemah dari bibir hitamnya terdengar samar. Aku benar-benar marah hingga tak bisa menahan emosi. Namun aku enggan mengakui bahwa kali ini aku benar-benar telah kelewatan.

Sudah seminggu ini ayah tinggal di rumah dan selama itu pula aku menahan mulutku untuk diam. Satu-satunya pembicaraanku dengannya hanya pada hari itu, dan saat itu pun aku tak bisa mengontrol kata-kataku. Lagipula aku pikir ayah lebih sibuk mengurusi tamu-tamunya. Bagaimana tidak sibuk? Sepanjang hari, siang dan malam, orang-orang terus berdatangan hanya untuk bertemu dengannya dan menyalami bahkan mencium tangan buruhnya yang kasar.

Sore ini ia akan kembali ke kota. Aku sangat bahagia mengetahui kabar tersebut. Di saat keberangkatannya, aku tidak berminat untuk mengantarnya meskipun hanya sampai pintu. Aku bersikap seolah-olah hal tersebut bukanlah hal yang penting. Bodo amat! Toh di luar sana sudah banyak orang yang mengantarkannya dan mengelu-elukan namanya. Aku hanya menatap kepergian lelaki itu, sang Ustaz Badut, dari balik jendela kamarku dengan senyuman sinis. Ku lihat ia merangkul adik-adikku yang asyik mengunyah gula-gula.

Selepas kepergiannya, aku keluar kamar untuk menyiapkan makan siang bagi adik-adiku. Di atas meja makan, aku melihat selembar kertas tergeletak. Ternyata sebuah surat. Untukku. Aku mengambilnya dan mulai membacanya.


Teruntuk anakku tercinta,

Maafkan ayah, Nak. Maaf karena ayah telah membuatmu kecewa. Ayah pikir semua yang ayah lakukan ini semua akan membuatmu bahagia dan bangga pada ayah. Percayalah, ayahmu ini tak pernah berniat menjual agamanya. Ayah masih seperti ayahmu yang dulu. Sekali lagi ayah mohon percayalah! Namun sungguh ayah tak bisa berhenti. Sekali lagi kau harus percaya, ini bukan karena harta maupun ketenaran. Ayah tak butuh ketenaran dan ayah juga selama ini telah memiliki harta yang paling berharga: kau dan adik-adikmu.

Ayah mengerti jika kau memang tak bisa menerima ayah seperti dulu lagi. Ayah tetap bangga memiliki anak sepertimu. Hari ini ayah pergi, karena ayah pikir ayah hanya akan membuatmu bersedih kecewa, dan marah jika ayah terus berada di sampingmu. Sejujurnya, berat bagi ayah untuk jauh dari kalian, kau dan adik-adikmu, apalagi saat ayah tahu bahwa apa yang ayah lakukan ini telah mengecewakanmu. Ingatlah, ayah akan pulang kapan pun kau butuh ayah.

Bodoh! Mengapa aku harus menyalahkan ayah dan membencinya? Siapa yang membuatnya menjadi seperti ini? Aku mulai tersadar akan awal mula dari semua ini.

Suatu malam ayah di undang oleh Pak Kades untuk menyampaikan ceramah dalam acara selamatan pernikahan putri sulungnya. Dulu aku sangat senang melihat ayah saat menyampaikan ceramah agama. Saat itu aku baru saja melihat tayangan seorang polisi yang mendadak terkenal hanya karena ia pura-pura menyanyi lagu India. Aku tertarik dan ingin membuat ayah terkenal seperti polisi itu. Aku lalu meminjam handphone tetanggaku yang ada kameranya dan merekam ayah saat menyampaikan ceramah agama malam itu.

Keesokan harinya aku meminta tetanggaku itu untuk memasukkan rekaman ayah ke dalam internet. Usaha isengku ternyata tidak sia-sia. Dua bulan kemudian, ada orang dari stasiun televisi dan membuat kontrak dengan ayahku untuk mengisi tayangan siraman rohani setiap malam. Setelah itu, kehidupanku sebagai seorang anak Ustaz Badut pun dimulai.

Ah, benarkah ia seorang ustadz? Ustaz yang suka melawak?  Ustaz badut?

Cerpen Karangan: Nurul Handayani

LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL 'ALIYYIL ADZIIM..... 

0 komentar:

Posting Komentar

uang download

 
Template designed by Liza Burhan