Minggu, 20 Oktober 2013

Ketika Air Tuba Dibalas Dengan Air Susu






Percayalah bahwa pada dasarnya setiap manusia itu baik dan mencintai kebaikan atau paling tidak merindukan kebaikan. Bisa dicoba, ajukan pertanyaan kepada semua orang; kira-kira profile anak seperti siapa, atau profile pasangan hidup atau pemimpin yang bagaimana yang mereka harapkan, pasti jawaban intinya sama. Anak yang baik, suami, isteri dan pemimpin yang baik serta jujur, yang mereka impikan. Sebenarnya  semua orang merindukan kebaikan, masalah bisa terwujud atau tidak, itu lain persoalan. Orang-orang yang bisa berperilaku baik (apalagi berbuat baik kepada sesama), maka dia akan menjadi idola karena sebenarnya dia telah mewujudkan harapan setiap orang. Jika suatu ketika ada seseorang yang berbuat jahat kepadamu, maka kalau  kamu bisa  membalasnya dengan kebaikan, dia akan menyukaimu meskipun orang tersebut musuhmu.

Orang yang berbuat jahat kepadamu pasti karena ada faktor X yang mempengaruhinya; bisa apersepsi, persepsi yang keiru, missinformasi atau misskomunikasi atau lingkungan tempat domisili atau tempat kerjanya atau boleh jadi secara tidak sadar, justru  kita sendiri yang menjadi pemicunya. Sangat tidak bijaksana, apabila seluruh keburukan/kejahatan yang dilakukannya kita vonis sebagai semata-mata kesalahannya. Di alam kehidupan ini, tidak ada sesuatu yang berjalan sendirian, baik yang sejalan maupun yang saling bertentangan. Ada korelasi antara satu perbuatan dengan perbuatan lainnya, entah positif atau negatif. Antara sesuatu yang sama dan sejalan, juga antara sesuatu yang saling bertentangan bergerak dan berjalan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Begitulah sunnatullah kehidupan ini berjalan.

Manusia berada dalam dua keadaan, yaitu mukhayyar; mendapatkan kesempatan memilih dari beberapa alternatif perbuatan yang ada dihadapannya atau musayyar; dipaksa oleh keadaan, tidak memiliki pilihan lain. Kita tidak mengetahui apakah orang yang melakukan keburukan kepada kita itu mukhayyar atau musayyar, atau boleh jadi menurut pandangan kita mukhayyar sementara orang yang bersangkutan merasa musayyar dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, kita tidak perlu gampang naik pitam lalu membalas sesuatu keburukan dengan keburukan serupa, apalagi dengan pembalasan yang lebih kejam dengan dalih “pembalasan lebih kejam daripada perbuatan”.

Kalau saja kita mau membalas suatu keburukan dengan kebaikan, sangat mungkin menjadi obat bagi yang bersangkutan untuk mengakhiri keburukannya dan berubah menjadi orang yang baik. “Dan tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan, tolaklah keburukan itu dengan cara yang lebih baik, maka (tahu-tahu) antara kamu dan orang yang memusuhimu (terjalin hubungan) seakan-akan teman yang saling melindungi” . [QS:41;34].

Menolak keburukan dengan cara yang baik bisa dilakukan dengan cara memaafkannya, sedangkan menolaknya dengan cara yang lebih baik adalah dengan cara membalas perbuatan buruknya dengan kebaikan, semisal memuji orang yang mencaci-maki dirimu, menebus anak yang sedang ditawan oleh lawanmu, dan sebagainya.[1] Membalas suatu keburukan dengan kebaikan juga merupakan bagian dari sifat-sifat Ulul albab (orang-orang yang memilki akal sehat). Sebagaimana dijelaskan didalam surat ar-Ra’d ayat; 20-22, bahwa Ulul albab memiliki tujuh sifat utama, yaitu memenuhi janji dan tidak merusak kesepakatan, mengembangkan model komunikasi positif sebagaimana perintah Allah SWT, memiliki rasa takut kepada Allah, memiliki kesabaran, mendirikan shalat, memiliki kepedulian kepada pihak-pihak yang lemah dan kepentingan umum, serta bisa membalas air tuba dengan air susu. Dengan sifat-sifat tersebut mereka layak untuk menempati surga adn yang kekal selama-lamanya.

Membalas keburukan dengan kebaikan bisa mengurangi kejahatan dan merubah orang jahat menjadi baik. Abu Sufyan bin Harb pemimpin penjahat dari kaum Quraisy selalu menyakiti dan menjadi aktor intelektual dibalik aksi-aksi teror terhadap kaum muslimin dan pribadi Rasulullah SAW. Dikemudian hari, dia berbalik menjadi pembela kaum muslimin dan Rasulullah karena disaat terjadi fath makkah, dimana kemenangan dan kekuasaan berada ditangan Rasulullah SAW, beliau tidak menuntut balas atas keburukannya, bahkan memperlakukannya dengan sangat manusiawi.

Selain itu, pernah terjadi, suatu ketika suku bani Harb yang dipimpin oleh Du’tsur mau menyerang kaum muslimin, maka berangkatlah mereka ini dengan pasukan besar menuju ke Madinah. Kabar ini tercium oleh Rasulullah, maka beliau berangkat untuk menghadang mereka dengan membawa pasukan sejumlah 450 orang. Beliau menghentikan pasukannya disuatu tempat yang bernama Dzi Amar. Ditempat tersebut beliau dan pasukannya ditimpa hujan deras, setelah hujan berhenti, beliau mencari tempat yang teduh untuk beristirahat, melepas baju dan mengeringkannya. Antara beliau dan para sahabatnya terpisahkan oleh telaga dzi amar. Keadaan tersebut ternyata terlihat Du’tsur dan teman-temannya, maka mereka berkata,” hai du’tsur, sekarang kamu bisa membunuh Muhammad, lihatlah dia sedang berleyeh-leyeh seorang diri tanpa baju dan senjata. Berangkatlah!”. Du’tsur tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut, sesampainya dihadapan Rasulullah, dengan pedang terhunus yang dia taruh dileher Rasulullah, dia berkata, “Muhammad, siapakah yang bisa menghalangimu dari aku?”. Dia tahu bahwa jarak antara Rasulullah dengan para sahabtanya cukup jauh dan dipisahkan oleh telaga. Seandainya berteriak minta tolong, tentu pedang Du’tsur lebih dulu sampai memenggal leher beliau daripada para sahabtanya. Akan tetapi dia salah perhitungan, Muhammad adalah seorang Nabi yang tidak mungkin takut kepada manusia. Maka dengan mantap beliau menjawab, “Allah”. Dengan jawaban tersebut, seketika badan Du’tsur gemetar dan pedangnya jatuh ke tanah. Spontan keadaan menjadi berbalik, bukannya Rasulullah yang gemetar, tetapi Du’tsur yang terjatuh lunglai. Bayangkan kalau kejadian ini terjadi kepada orang lain; orang yang tadinya mengalungkan pedang kelehernya sekarang tersungkur dihadapannya, pasti langsung dibunuhnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Rasulullah, beliau bangun secara perlahan, lalu pura-pura mengancamkan pedang tersebut kepada Du’tsur,” hai Du’tsur, siapakah yang bisa menghalangimu dari aku?”. Maka Du’tsur menjawab, “tak seorangpun Muhammad”. Seketika itu juga beliau memaafkan Du’tsur, akhirnya Du’tsur masuk Islam dan dilepaskan oleh Rasulullah. Sekembalinya ketengah-tengah pasukannya, mereka bertanya, “kenapa kamu tidak membunuh Muhammad, tidakkah kamu bisa?”. “Ya, aku memang bisa, tapi aku tidak mampu melakukannya. Ketahuilah bahwa aku telah masuk Islam menjadi pengikut Muhammad, dia orang yang lebih baik dari aku. Maka ayo masuklah Islam kalian semua…”, jawab Du’tsur.[2] Andai saja beliau membunuh Du’tsur sebagai balasan atas perbuatannya, mungkin benar, tetapi bukan yang terbenar dan terbaik. Du’tsur mati dalam kekafiran dan kaumnya akan kembali kekampung halamannya dalam kekafiran juga. Tidak ada perubahan.

Begitulah cara manusiawi menghadapi keburukan dan kejahatan orang lain, air tuba tidak harus dibalas dengan racun, gantilah dengan air susu, agar kita semua bisa sehat dan segar.

0 komentar:

Posting Komentar

uang download

 
Template designed by Liza Burhan