Senin, 21 Oktober 2013

Mengasah Hati Nurani Seorang Guru


Tanya nurani, “Mengapa ingin jadi guru?” Tak mungkin saya tanyakan jika tak hendak ungkap sesuatu. Ajaib, dulu dilecehkan mendadak jadi profesi favorit. Pasti ada apa-apanya, tak mungkin apa adanya.

Saya tersentak menyimak celoteh seorang kawan pengelola bimbingan belajar, “Belakangan ini, banyak orangtua yang mengarahkan anak-anaknya melanjutkan studi di universitas keguruan. Ini trend pascaadanya kebijakan sertifikasi guru. Enak kan menjadi guru, bisa kaya, apalagi jadi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Ah, ada udang dibalik batu. Kalau kebijakan ini ditiadakan, masihkah setia pada profesi guru?

Sahabat saya, seorang guru PNS, pernah ungkap isi hatinya, “Ternyata tak mudah menjaga idealisme & cita-cita luhur. Sulit sekali memegang prinsip hidup. Setia bersikap jujur malah dianggap sok suci. Teguh bersikap disiplin malah diejek sebagian besar rekan guru. Cegah murid agar tak mencontek dinihilkan oknum guru lain yang kirim kunci jawaban lewat pesan singkat.Yang paling menyedihkan, oknum guru senior ajarkan diri untuk belajar berdamai dengan keburukan”. Gugat nuranimu sendiri wahai guru, seberapa pantas menyandang status guru? Jika tak mampu, silahkan pamit mundur. Ada resiko teramat besar jika tak berkiblat pada kebajikan. Andai hidup rusak, jangan sampai merusak pula kehidupan murid-murid.

Ketika mulut berucap, cermati apa yang diungkap kata hati. Sesuaikah? Guru, identitas yang harus dijaga kehormatannya. Ketika guru keliru bertutur, persoalan bisa runyam. Apalagi terbukti bersalah, apapun masalahnya, siap-siap digugat ramai-ramai. Seolah tak mau tahu, muara kesalahan selalu ditimpakan kepada guru. Kalau teguh bersikukuh dalam kebaikan, paling dianggap kewajaran. Kalau berbuat salah, habislah guru. Mengapa harus begitu? Bukankah guru juga manusia? Wahai guru, tanya nuranimu, sampai kapan kuat bertahan dalam situasi seperti ini?

Guru harus tegas menentukan sikap. Jadilah guru yang baik atau tidak sama sekali. Jika masyarakat tak hargai kerja kita, tetaplah berbuat baik. Andai pemerintah tak berpihak mencukupi hak-hak guru, tetaplah berbuat baik. Ketika orangtua murid menyepelekan, tetaplah berbuat baik. Meski murid mulai berani ‘mengencingi’ guru, tetaplah berbuat baik. Benahi diri sendiri, lalu perhatikan apa yang terjadi. Gugat terus nuranimu, “Sanggupkah jadi guru di negeri salah urus ini?”

Memang menarik, menggugat nurani bisa jadi cara terbaik membangun kesadaran diri. Ketika guru menggugat nurani, curhatnya seperti ini, “Guru rusak? Ya, asal tak merusak murid, asal tak menyesatkan murid. Urusan ringan, sedang, berat, terserah saja. Kalau memang sudah rusak, mau apa?” Gugatan ini tersaji di grup facebook Ikatan Guru Indonesia (IGI). Bukan asal menggugat, tapi mengajak semua guru merenung. Satu guru melempar pernyataan, semua anggota komunitas saling bersahutan merespons.

“Guru itu harus baik, jangan sampai ada guru rusak”, terang seorang guru. Jelaslah sudah ini jawaban normatif. Semua orang mafhum hal itu. Coba kerahkan segenap energi untuk berpikir lebih keras. Jika guru rusak, seberapa besar dampaknya pada murid? Apa kiat cegah guru agar tak rusak? Soal penting yang mesti dijawab tuntas. Jawabannya ditemukan juga. Saya terpukau dengan penjelasan seorang guru menyikapi soal guru rusak, “Kalau organisasi itu bagaikan ikan, maka ikan akan busuk mulai dari kepalanya. Siapa yang ada di kepala ikan ya? Masak guru, kan harusnya atasannya”. Singkat, padat, sarat makna. Tegasnya, penguasa dzalim pada guru, masa depan bangsa sedang dipertaruhkan.

Wahai guru, ada saat-saat tertentu kita harus bekerja dengan alasan uang & bukan karena makna dari pekerjaan itu.  Tapi, seberapa bahagia kita melakoninya? Berbisnis dengan manusia, siap-siaplah kecewa. Apalagi menggantungkan diri pada pihak luar, bisa kecewa berkepanjangan. Berbisnis dengan Allah SWT, Insya Allah kemuliaan berharap bisa diraih. Semoga keputusan kita menjadi guru tak dipengaruhi faktor eksternal yang kerap bisa berubah-ubah.

Ingat pepatah Cina, “Jika kau ingin bahagia satu jam, pergilah tidur. Jika kau ingin bahagia satu hari, pergilah memancing. Jika kau ingin bahagia satu tahun, bermunajatlah pada Tuhan. Jika kau ingin bahagia sepanjang hidupmu, bantulah orang lain”. Menjadi guru berarti menjadi jalan terbaik membantu murid-murid meraih kesuksesan hidup mereka di masa depan. Murid berhasil hidupnya, seperti apa kebahagiaan guru? Tak bisa diungkap dengan kata-kata. Maka jika hidup guru tak bahagia, mengapa?

Takdir terlahir di Indonesia bukan pilihan. Menjalani takdir sebagai guru di bumi pertiwi, jelaslah ini sebuah pilihan. Pastikan pilihan itu bersumber dari panggilan hati, bukan karena bisikan tetangga kanan kiri. Guru di negeri lain, katakanlah di negeri serumpun, sangat dihormati & dimuliakan. Tapi di sini, kita mesti berdiri tegar sendirian. Mari seksamai, ada hikmah besar yang bisa kita ambil. Bukankah menjadi baik di antara yang rusak itu jihad? Maka, berjuang menjadi guru untuk mengubah kerusakan menjadi kebaikan, itulah jihad yang sesungguhnya.

Wahai guru, tetaplah mengasah hati nurani. Bertanyalah selalu, “Mengapa saya harus menjadi guru?” Jika jawabnya, “Because it is my life”, maka teruslah berjuang dan berkarya demi masa depan anak negeri yang lebih baik. You’ll never walk alone. (republika)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Ga kebayang deh kalo guru yang ngajar di sekolah SLBB :( perjuangannya pasti mati"an ya haha..... Ada temen yang masuk pendidikan LB tuh di UNJ, mudah"an dia juga di beri kesabaran haha..... postingan yang menarik gan, visit juga ya www.ipb.ac.id

Unknown mengatakan...

iya gan makasih sudah berkunjung....
saling tuker link aja ya....
insya Allah kapan2 saya berkunjung ke situs nte....

Posting Komentar

uang download

 
Template designed by Liza Burhan