Minggu, 03 November 2013

Aktivitas Ibadah yang tidak Berstatus Ibadah


Islam sangat meghargai terhadap setiap hal yang mendorong perbuatan baik, tujuan yang mulia, dan niat yang baik dalam diri seorang muslim. Oleh sebab itu, keabsahan dari setiap perbuatan terlebih dalam perkara ibadah diukur dengan niatnya. Jika niatnya baik, maka dia akan memperoleh hasil yang baik pula. Dan jika niatnya buruk atau salah, maka kejelekan atau kebatalanlah yang akan diperoleh. Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah bersabada:

انَِّمَا اَلْاَعْمَالُ بِاالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى

“Sesungguhnya semua amal harus disertai dengan niat (ikhlas karena Allah) dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang sesuai dengan niatnya”.

Lingkup hadits di atas mencakup terhadap urusan ibadah dan lainnya. Dengan demikian, ibadah akan dinilai sah oleh Syari’ manakala di dalamnya terdapat niat. Sedangkan selain ibadah akan bernilai ibadah jika diniatkan dengan niat yang baik.

Dengan niat yang baik, kebiasaan dan perbuatan yang mubah akan bernilai ibadah, dan sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri (taqarrrub)  kepada Allah. Makan dan minum misalnya. Jika makan dan minum dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup dan agar memperoleh kekuatan dalam beribadah, maka makan dan minum tersebut akan diganjar oleh Allah SWT. Begitu pula pada perbuatan-perbuatan mubah yang lain.

Seorang muslim sejati tentu tidak akan berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Karena dia merasa hembusan nafas yang senantiasa ia hembuskan akan terasa sia-sia, jika tidak digunakan sebaik mungkin. Salah satu cara yang jitu untuk memperbanyak kebaikan, mereka selalu berniat dalam setiap hal. Sebagaimana hadits Nabi saw.:

“Niat seorang mukmin lebih baik dari pada perbuatannya, karena didalam niat tidak terdapat kerusakan, sedangkan dalam perbuatan masih terdapat kerusakan”.

Betapa pentingnya niat seseorang dalam setiap perbuatannya, sehingga nabi bersabda demikian, “niat mukmin lebih baik dari pada perbuatannya”, Hadits ini memberi pemahaman bahwa niat seseorang lebih baik dari pada perbuatnnya, namun bukan lantas berniat saja tanpa diiringi dengan perbuatan. Akan tetapi, niat yang disertai dengan perbuatan, atau niat yang tidak disertai dengan perbuatan namun dia benar-benar bertekad untuk melakukan perbuatan tersebut, hanya saja terdapat suatu penghambat yang menyebabkan dia tidak berbuat. Seperti orang yang ingin (berniat) mendirikan shalat berjama’ah di masjid, dia mampu untuk melaksanakannya dan ternyata dia benar-benar melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Atau dia tidak shalat berjama’ah di masjid lantaran dia sakit yang dapat menghalangi untuk melaksakannya. Inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi diatas. Bukan orang yang hanya ingin mendirikan shalat berjama’ah di masjid tapi dia tidak pernah melaksanakan, padahal dia mampu untuk melaksanakannya. Sebagaimana dalam hadis Nabi saw. yang artinya:

“Barang siapa yang bertekad melakukan suatu kebaikan tapi tidak melakukannya, maka dia mendapatknan satu pahala, jika mengerjakan maka mendapat sepuluh sampai 700 pahala hingga berlipat ganda. Dan barang siapa yang bertekad melakukan suatu kejelekan tapi dia tidak melakukan, maka dia mendapat satu kebaikan, jika dia mengerjakan, maka ia mendapat satu kejelekan.”

Hal ini menunjukkan betapa tolerannya Allah kepada hambanya yang ingin berbuat kebaikan, niatnya saja membuahkan pahala terlebih sampai mengerjakan. Bukankah Malaikat Roqib akan mencatat 10 kebaikan dari setiap kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim. Dan ketika seorang muslim berbuat kejelekan Malaikat ‘Atid tidak langsung mencatatnya dengan amal yang buruk akan tetapi, Malaikat penjaga tubuh bagian kiri ini meminta pendapat kepada malaikat yang bertugas menjaga tubuh bagian kanan dengan perkataannya, “akankah aku tulis perbuatan jelek hamba ini”  lalu malaikat Roqib menjawab “biarkan 7 jam kemudian, barang kali ia sadar dan bertaubat. Jika tidak, maka tulislah”  begitulah dialog dua malaikat yang kita kenal dengan Malaikat Roqib dan Atid saat mencatat kebaikan dan keburukan manusia. (Qotrul Ghoits. Hal. 4 )

Tentu, setiap orang islam ingin dirinya menjadi ‘muslim sejati’, hanya saja senandung  kerikil dosa yang terkadang membuatnya jauh dari yang diinginkan.  Oleh karena itu, mulai sekarang kita harus melatih diri untuk me-niat-kan semua apa yang kita kerjakan karena Allah SWT. Mungkin dengan begitu dapat membantu terciptanya ‘jiwa muslim sejati’ dalam diri kita. Amin…..

 wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

uang download

 
Template designed by Liza Burhan