Apakah taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang lain masih tetap dilakukan?
Ada dua pendapat di
kalangan ulama tentang masalah ini, yang keduanya diriwayatkan dari
Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat dari orang
yang mengisahkan adanya ijma’ tentang sahnya taubat itu, seperti yang
dilakukan An-Nawawy dan lain-lainnya.
Memang masalah ini bisa
dianggap rumit, yang perlu ada kepastian untuk salah satu di antara
kedua pendapat ini, yang tentu saja harus disertai dalil yang pasti.
Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah bahwa selagi
seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang berarti dia sudah
bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah sekalipun dia
masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari kedurhakaan
itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun dia masih
melakukan dosa lain.
Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada Allah, yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan beribadah kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan ampunannya kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap sah.
Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum dianggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?
Memang taubat itu bisa
dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksanaannya yang berbeda, porsinya
pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan satu kewajiban dan
meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat hukuman berdasarkan
kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan dihukum berdasarkan kewajiban
yang dilakukannya. Begitu pula jika dia bertaubat dari satu dosa dan
tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia harus bertaubat dari dosa
itu.
Ada pula pendapat lain yang
mengatakan bahwa taubat adalah satu perbuatan. Artinya, taubat adalah
membebaskan diri dari hal-hal yang dimurkai Allah, kembali menaati-Nya
dan menyesali apa yang telah diperbuat.
Jika taubat itu tidak
dikerjakan secara sempurna, maka ia belum dianggap sah, karena ia
merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan seba-gian di antaranya dan
meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan melakukan sebagian
ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.
Ada pula yang berpendapat,
setiap dosa mempunyai taubat yang khusus baginya, atau merupakan
kewajiban darinya. Satu taubat tidak berkaitan dengan taubat lainnya,
sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan dengan dosa lainnya.
Menurut pendapat saya dalam
masalah ini, bahwa taubat itu tidak dianggap sah dari satu dosa
tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap dikerjakan. Sedangkan taubat
dari satu dosa tertentu dianggap sah, sekalipun ada dosa lain yang
tidak berkait dengannya masih tetap dilakukan.
Contohnya, seseorang
bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat dari dosa minum khamr
atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari riba ini dianggap sah.
Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak bertaubat dari riba nasi’ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah.
Keadaannya seperti
bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia tetap berzina
dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat dari dosa
tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya yang
serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurhakaan ke
kedurhakaan lain yang tidak serupa.
Bertaubat, Tapi Berbuat Dosa yang Sama
Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang bertaubat
untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah tidak ada
syarat seperti itu?
Sebagian orang mensyaratkan
larangan mengerjakan kembali dosa yang sama. Jika kembali melakukannya
secara sengaja, berarti taubatnya tidak sah. Namun kebanyakan orang
tidak mensyaratkan seperti itu. Sahnya taubat tergantung kepada
pembebasan dirinya dari dosa itu, menyesalinya dan bertekad untuk tidak
melakukannya kembali. Jika permasalahannya menyangkut hak manusia, maka
apakah disyaratkan pembebasan hak itu? Masalah ini harus dirinci lebih
lanjut. Jika dia kembali melakukannya, padahal dia sudah bertekad untuk
tidak melakukannya kembali saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang
yang mulai melakukan kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.
Dalam hal ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat, dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap batal. Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu menghapus segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad, maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambah dengan dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash Shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan yang terakhir.”
Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan setelah dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupakan keburukan yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa berikutnya.
Masih menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan kelangsungannya. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat akan dianggap musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang disyaratkan dengan kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini ditunjukkan sebuah hadits shaliih, yaitu sabda beliau,
“Sesungguh-nya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal penghuni surga, sehingga jarak antara dirinya dan surga itu hanya sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam neraka.”
Dalam As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun. Menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya, sehingga dia masuk neraka.” Kesudahan yang buruk lebih umum dari sekedar kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu diukur dari kesudahannya.
Apabila ada yang berkata,
“Berarti kebaikan terhapus oleh keburukan”, maka ini adalah pendapat
golongan Mu’tazilah. Sementara Al Qur’an dan As-Sunnah memberitahukan
bahwa kebaikanlah yang menghapus keburukan, bukan sebaliknya, seperti
firman Allah,
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).
Hal ini bisa dijelaskan, bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah telah memberitahukan timbangan terhadap kebaikan dan keburukan. Sebagian isi Kitab Allah tidak akan bertentangan atau menggugurkan sebagian yang lain, dan Al-Qur’an tidak bisa disanggah oleh pendapat golongan Mu’tazilah. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan tentang amal yang bisa gugur karena perbuatan tertentu, seperti firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 264).
Jika sudah ada kejelasan tentang kaidah syariat, bahwa sebagian keburukan itu ada yang bisa menggugurkan kebaikan, maka keburukan melakukan dosa kembali juga bisa menggugurkan kebaikan taubat, yang membuat taubat itu seakan-akan tidak pernah terjadi. Dengan begitu tidak ada lagi pembatas di antara dua dosa itu, yaitu dosa pertama dan dosa yang diulangi lagi.
Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ sudah menjelaskan adanya timbangan. Faidahnya untuk mengetahui mana yang lebih berat timbangannya, sehingga pengaruhnya tertuju bagi yang lebih berat dan mengabaikan yang lebih ringan. Ibnu Mas’ud berkata, “Pada hari kiamat manusia akan dihisab. Barangsiapa keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, walaupun hanya selisih satu saja, maka dia masuk neraka. Barangsiapa kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, walaupun selisih satu saja, maka dia masuk surga.” Kemudian dia membaca ayat,
“Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri.” (Al-A’raf: 8-9).
Kemudian Ibnu Mas’ud berkata lagi, “Timbangan itu bisa menjadi ringan atau menjadi berat karena amal yang seberat biji-bijian. Barangsiapa kebaikan dan keburukannya sama, maka dia termasuk penghuni Al A’raf (antara surga dan neraka).”
Ini artinya, apakah yang
kuat akan menghapus yang ringan, sehingga seakan-akan yang ringan itu
seperti tidak pernah ada sama sekali, atau kedua belah pihak cukup hanya
dengan ditimbang dan kesudahannya diberikan kepada bagian yang lebih
berat? Jika kebaikannya lebih berat, apakah dia mendapat pahala dan
tidak disiksa atas keburukan yang dia lakukan? Atau jika keburukannya
lebih berat walau hanya selisih satu keburukan saja, apakah dia
dilemparkan ke dalam neraka?
Tentu saja semua ini harus dikembalikan kepada golongan yang melihat
berlakunya alasan dan hikmah. Jika manusia selamat dari syirik
umpamanya, yang merupakan dosa yang tidak diampuni Allah, maka tidak ada
amalnya yang sia-sia dan tidak ada pahalanya yang dikurangi.
Timbangan atas kebaikan dan
keburukannya kembali kepada pengaruh pensucian jiwa, karena
masing-masing akan mendapatkan derajat sesuai dengan amalnya. Sementara
tidak ada yang bisa mengetahui kemantapan pensucian jiwa yang bisa
menyelamatkan orang Mukmin dari siksa kecuali Allah semata. Dengan
jawaban ini, maka beberapa ayat yang menjelaskan masalah pahala, amal
dan timbangan bisa dikompromikan. Tetapi gugurnya amal mempunyai
tanda-tanda yang bisa diketahui orang yang menghisab dirinya.
Sedangkan golongan
Jabariyah yang tidak melihat berlakunya alasan, sebab dan hikmah, pahala
dan siksa, menolak semua ini. Karena semua perbuatan dan perkataan
manusia menurut mereka ada di Tangan Allah, sementara mereka tidak tahu
apa yang dikehendaki Allah. Sehingga orang yang lebih banyak kebaikannya
pun bisa mendapat siksa dan orang yang lebih banyak keburukannya pun
bisa mendapat pahala.
Sedangkan golongan lain
berpendapat bahwa dosa pertama tidak kembali kepada pelakunya karena
taubatnya yang batal atau rusak. Sebab dosa itu sudah diampuni karena
taubat, sehingga sama dengan sesuatu yang belum pernah dikerjakan dan
tidak pernah terjadi. Yang kembali kepadanya adalah dosa setelah
taubatnya yang rusak dan bukan yang sebelumnya. Keabsahan taubatnya
tidak disyaratkan dengan adanya kema’shuman dirinya dari kesalahan
hingga akhir hayat. Tapi jika dia menyesal, melepaskan diri dari dosa
yang lalu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, maka dosanya itu
dihapuskan. Jika kemudian dia mengulanginya lagi, maka dosanya terletak
pada pengulangan itu. Hal ini tidak bisa disamakan dengan kufur yang
menggugurkan semua amal. Kufur merupakan kondisi tersendiri yang
menghapus semua kebaikan. Sementara mengulang kembali dosa yang sudah
dimintakan taubat tidak menggugurkan kebaikan-kebaikan yang lampau.
Taubat adalah kebaikan yang
paling besar. Andaikan kebaikan ini terhapus oleh dosa yang dilakukan
kembali, tentunya semua kebaikan yang lampau juga ikut terhapus. Tentu
saja logika ini tidak bisa diterima, karena mirip dengan pendapat
Khawarij yang menghapus semua dosa, atau mirip dengan pendapat
Mu’tazilah yang menganggap semua pelaku dosa besar berada di neraka
selama-lamanya, sekalipun dia mempunyai sekian banyak kebaikan.
Sementara dua golongan ini tertolak dalam Islam, karena
pendapat-pendapat dua golongan ini bertentangan dengan prinsip keadilan
dan nash. Allah befirman,
“Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang pun walau seberat dzarrah, dan jika
ada kebajikan seberat dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 40).
Tentang keberlangsungan
taubat, maka itu merupakan syarat kesempurnaannya, bukan merupakan
syarat sahnya taubat untuk dosa yang telah lampau. Tidak demikian halnya
dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa selama sehari penuh dan
bilangan-bilangan rakaat shalat, karena ini merupakan satu bentuk ibadah
tersendiri, yang tidak bisa diterima kecuali dengan mengikuti semua
rukun dan bagian-bagiannya yang sudah baku. Tapi taubat merupakan ibadah
yang bilangannya banyak, tergan-tung dari banyaknya dosa. Satu dosa
mempunyai satu taubat secara khusus.
Perbandingannya, seseorang
puasa Ramadhan. Pada suatu hari dia makan tanpa ada alasan yang
diperbolehkan. Apakah hari batalnya puasa ini menggugurkan pahala
hari-hari lain yang diisi dengan puasa? Apakah orang yang tidak berpuasa
menghapuskan pahala shalat fardhu yang dikerjakannya? Inti permasalahan
ini, bahwa taubat adalah suatu kebaikan sedangkan mengerjakan dosa
kembali adalah suatu keburukan.
Pengulangan dosa ini tidak
membatalkan kebaikan. Ini lebih dekat dengan prinsip Ahlus-Sunnah, bahwa
seseorang terkadang menjadi orang yang dicintai Allah dan juga
dimurkai-Nya, terkadang di dalam dirinya ada iman dan juga nifaq, iman
dan juga kufur.
0 komentar:
Posting Komentar