Ada sebuah
pohon apel yang berdiri dengan gagahnya tepat di tengah suatu perkebunan apel.
Dari sekian banyak pohon apel di kebun tersebut, pohon itulah yang menghasilkan
buah apel yang paling lebat dan manis. Sang Petani begitu menyayangi pohon
tersebut. Setiap hari Ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi pohon apel
tersebut sambil memandangi rimbunnya buah apel yg bergelantungan.
Hampir
setiap tahun ia menghasilkan banyak sekali pohon apel yang manis rasanya. Namun
pada tahun ini buah yang dihasilkan tidak sebanyak tahun sebelumnya, rasa
buahnyapun lebih asam bahkan banyak dari buah apel tersebut yang berjatuhan
sebelum siap untuk dipanen.
Pada suatu
pagi, seperti biasanya Sang Petani mengunjungi si pohon apel. Namun kali ini ia
memandangi pohon apel itu dengan perasaan sedih. Biasanya Sang Petani betah
duduk berlama-lama memandangi dan memuji pohon apel tersebut. Namun kali ini
Sang Petani hanya beberapa detik saja mengunjunginya. Dalam hati pohon apel
begitu sedih, ia berkata dalam hatinya,”Mengapa Sang Petani yang biasanya
begitu memperhatikanku sekarang meninggalkanku. Apakah Ia sudah tidak lagi
mengasihi diriku karena aku kini tidak membuatnya bangga lagi karena sekarang
buahku tidak sebanyak dan semanis biasanya ?”
Tidak lama
kemudian Sang Petani datang kembali dengan sebilah kapak, seutas tali dan
sebatang tiang besi. Pohon apel begitu terkejut, dalam bayangannya Sang Petani
pasti tidak lagi menghendakinya dan dan berniat untuk menebang tubuhnya. Namun
apa yang terjadi sungguh berbeda dengan bayangannya, dengan tersenyum penuh
kasih ia menghampiri pohon apel sambil memengang sebilah kapak kapak yang
berkilauan diterpa sinar matahari pagi.
“Apa yang hendak kaulakukan padaku wahai Petani yang baik?” tanya si pohon apel masih dengan ketakutan.
“Tenang dan diamlah, Aku hendak membuatmu berbuah lebih lebat lagi. Percayalah kepadaKu, karena Aku sangat mengasihimu,” jawab Sang Petani dengan lembut. Kemudian Ia mengayunkan kapak itu kepada ujung dahan-dahan pohon apel yang menjulang ke atas.
“Aduh…apa yang Kaulakukan, Engkau menyakitiku,” jerit pohon apel.
“Apakah engkau tidak percaya kepadaKu, Akulah yang sudah menjaga dan memeliharamu sejak engkau masih berupa biji, masa Aku sekarang hendak membinasakanmu.”
“Baiklah Petani, aku percaya kepadaMu,” jawab pohon apel dengan penuh penyerahan diri, kali ini ia memilih untuk diam dan percaya sepenuhnya kepada Sang Petani
Dengan sigap
Sang Petani mengikat dahan yang telah dipotong ujungnya tersebut dengan seutas
tali, kemudian merundukkan dahan yang semula menjulang ke atas itu serendah
mungkin dan diikatkannya pada sebatang besi yang sudah ditegakkan di atas
tanah.
Akhirnya pohon apel tidak dapat menahan dirinya seraya berkata, “Petani, mengapa Engkau membuat dahanku menjadi begitu rendah, padahal selama ini aku begitu bangga karena dahanku yang menjulang tinggi banyak dikagumi oleh pengunjung karena membuatku nampak indah,”
Dengan
senyum penuh kasih Sang Petani menjawab, “Justru dahan itulah yang membuatmu
tidak dapat berbuah lebat dan manis. Dahan yang menjulang tinggi yang selama
ini kaubanggakan itu mengandung sedikit sekali unsur hara yang dibutuhkanutuk
menghasikan buah. Unsur hara ini akan turun ke bawah sehingga hanya sedikit
sekali yang tertinggal di dahan. Sebaliknya saat aku merundukkan dahanmu, dahan
ini akan menjadi lebih datar dan mampu menyimpan unsur hara yang melimpah di
dalamnya, sehingga nantinya dari dahan ini akan menghasilkan buah yang lebih
lebat dan manis.”
Kadangkala
dalam kehidupan, tanpa sadar kita hidup dalam keangkuhan dan kebanggaan diri
sendiri. Akibatnya kita tidak dapat mengalami hidup yang maksimal. Namun dengan
penuh kasih Sang Pencipta memangkas bagian kehidupan kita yang tidak berkenan
dihadapanNya, mengikatkan hati kita kepada hatiNya, dan merendahkan kengkuhan
hati kita.
0 komentar:
Posting Komentar