Percayalah bahwa pada dasarnya setiap
manusia itu baik dan mencintai kebaikan atau paling tidak merindukan kebaikan.
Bisa dicoba, ajukan pertanyaan kepada semua orang; kira-kira profile
anak seperti siapa, atau profile pasangan hidup atau pemimpin yang
bagaimana yang mereka harapkan, pasti jawaban intinya sama. Anak yang baik, suami,
isteri dan pemimpin yang baik serta jujur, yang mereka impikan.
Sebenarnya semua orang merindukan kebaikan, masalah bisa terwujud atau
tidak, itu lain persoalan. Orang-orang yang bisa berperilaku baik (apalagi
berbuat baik kepada sesama), maka dia akan menjadi idola karena sebenarnya dia
telah mewujudkan harapan setiap orang. Jika suatu ketika ada seseorang yang
berbuat jahat kepadamu, maka kalau kamu bisa membalasnya dengan
kebaikan, dia akan menyukaimu meskipun orang tersebut musuhmu.
Orang yang
berbuat jahat kepadamu pasti karena ada faktor X yang mempengaruhinya; bisa
apersepsi, persepsi yang keiru, missinformasi atau misskomunikasi atau
lingkungan tempat domisili atau tempat kerjanya atau boleh jadi secara tidak
sadar, justru kita sendiri yang menjadi pemicunya. Sangat tidak
bijaksana, apabila seluruh keburukan/kejahatan yang dilakukannya kita vonis
sebagai semata-mata kesalahannya. Di alam kehidupan ini, tidak ada sesuatu yang
berjalan sendirian, baik yang sejalan maupun yang saling bertentangan. Ada
korelasi antara satu perbuatan dengan perbuatan lainnya, entah positif atau
negatif. Antara sesuatu yang sama dan sejalan, juga antara sesuatu yang saling
bertentangan bergerak dan berjalan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Begitulah sunnatullah kehidupan ini berjalan.
Manusia
berada dalam dua keadaan, yaitu mukhayyar; mendapatkan kesempatan
memilih dari beberapa alternatif perbuatan yang ada dihadapannya atau musayyar;
dipaksa oleh keadaan, tidak memiliki pilihan lain. Kita tidak mengetahui
apakah orang yang melakukan keburukan kepada kita itu mukhayyar atau musayyar,
atau boleh jadi menurut pandangan kita mukhayyar sementara orang
yang bersangkutan merasa musayyar dan begitu pula sebaliknya. Dengan
demikian, kita tidak perlu gampang naik pitam lalu membalas sesuatu keburukan
dengan keburukan serupa, apalagi dengan pembalasan yang lebih kejam dengan
dalih “pembalasan lebih kejam daripada perbuatan”.
Kalau saja
kita mau membalas suatu keburukan dengan kebaikan, sangat mungkin menjadi obat
bagi yang bersangkutan untuk mengakhiri keburukannya dan berubah menjadi orang
yang baik. “Dan tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan, tolaklah
keburukan itu dengan cara yang lebih baik, maka (tahu-tahu) antara kamu dan
orang yang memusuhimu (terjalin hubungan) seakan-akan teman yang saling
melindungi” . [QS:41;34].
Menolak
keburukan dengan cara yang baik bisa dilakukan dengan cara memaafkannya,
sedangkan menolaknya dengan cara yang lebih baik adalah dengan cara membalas
perbuatan buruknya dengan kebaikan, semisal memuji orang yang mencaci-maki
dirimu, menebus anak yang sedang ditawan oleh lawanmu, dan sebagainya.[1] Membalas
suatu keburukan dengan kebaikan juga merupakan bagian dari sifat-sifat Ulul
albab (orang-orang yang memilki akal sehat). Sebagaimana dijelaskan didalam
surat ar-Ra’d ayat; 20-22, bahwa Ulul albab memiliki tujuh sifat utama,
yaitu memenuhi janji dan tidak merusak kesepakatan, mengembangkan model
komunikasi positif sebagaimana perintah Allah SWT, memiliki rasa takut kepada
Allah, memiliki kesabaran, mendirikan shalat, memiliki kepedulian kepada
pihak-pihak yang lemah dan kepentingan umum, serta bisa membalas air tuba
dengan air susu. Dengan sifat-sifat tersebut mereka layak untuk menempati surga
adn yang kekal selama-lamanya.
Membalas
keburukan dengan kebaikan bisa mengurangi kejahatan dan merubah orang jahat
menjadi baik. Abu Sufyan bin Harb pemimpin penjahat dari kaum Quraisy selalu
menyakiti dan menjadi aktor intelektual dibalik aksi-aksi teror terhadap kaum
muslimin dan pribadi Rasulullah SAW. Dikemudian hari, dia berbalik menjadi
pembela kaum muslimin dan Rasulullah karena disaat terjadi fath makkah, dimana
kemenangan dan kekuasaan berada ditangan Rasulullah SAW, beliau tidak menuntut
balas atas keburukannya, bahkan memperlakukannya dengan sangat manusiawi.
Selain itu,
pernah terjadi, suatu ketika suku bani Harb yang dipimpin oleh Du’tsur mau
menyerang kaum muslimin, maka berangkatlah mereka ini dengan pasukan besar
menuju ke Madinah. Kabar ini tercium oleh Rasulullah, maka beliau berangkat
untuk menghadang mereka dengan membawa pasukan sejumlah 450 orang. Beliau
menghentikan pasukannya disuatu tempat yang bernama Dzi Amar. Ditempat tersebut
beliau dan pasukannya ditimpa hujan deras, setelah hujan berhenti, beliau
mencari tempat yang teduh untuk beristirahat, melepas baju dan mengeringkannya.
Antara beliau dan para sahabatnya terpisahkan oleh telaga dzi amar. Keadaan
tersebut ternyata terlihat Du’tsur dan teman-temannya, maka mereka berkata,”
hai du’tsur, sekarang kamu bisa membunuh Muhammad, lihatlah dia sedang
berleyeh-leyeh seorang diri tanpa baju dan senjata. Berangkatlah!”. Du’tsur
tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut, sesampainya dihadapan
Rasulullah, dengan pedang terhunus yang dia taruh dileher Rasulullah, dia
berkata, “Muhammad, siapakah yang bisa menghalangimu dari aku?”. Dia tahu bahwa
jarak antara Rasulullah dengan para sahabtanya cukup jauh dan dipisahkan oleh
telaga. Seandainya berteriak minta tolong, tentu pedang Du’tsur lebih dulu
sampai memenggal leher beliau daripada para sahabtanya. Akan tetapi dia salah
perhitungan, Muhammad adalah seorang Nabi yang tidak mungkin takut kepada
manusia. Maka dengan mantap beliau menjawab, “Allah”. Dengan jawaban tersebut,
seketika badan Du’tsur gemetar dan pedangnya jatuh ke tanah. Spontan keadaan
menjadi berbalik, bukannya Rasulullah yang gemetar, tetapi Du’tsur yang terjatuh
lunglai. Bayangkan kalau kejadian ini terjadi kepada orang lain; orang yang
tadinya mengalungkan pedang kelehernya sekarang tersungkur dihadapannya, pasti
langsung dibunuhnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Rasulullah, beliau
bangun secara perlahan, lalu pura-pura mengancamkan pedang tersebut kepada
Du’tsur,” hai Du’tsur, siapakah yang bisa menghalangimu dari aku?”. Maka
Du’tsur menjawab, “tak seorangpun Muhammad”. Seketika itu juga beliau memaafkan
Du’tsur, akhirnya Du’tsur masuk Islam dan dilepaskan oleh Rasulullah.
Sekembalinya ketengah-tengah pasukannya, mereka bertanya, “kenapa kamu tidak
membunuh Muhammad, tidakkah kamu bisa?”. “Ya, aku memang bisa, tapi aku tidak
mampu melakukannya. Ketahuilah bahwa aku telah masuk Islam menjadi pengikut Muhammad,
dia orang yang lebih baik dari aku. Maka ayo masuklah Islam kalian semua…”,
jawab Du’tsur.[2] Andai saja beliau membunuh
Du’tsur sebagai balasan atas perbuatannya, mungkin benar, tetapi bukan yang
terbenar dan terbaik. Du’tsur mati dalam kekafiran dan kaumnya akan kembali
kekampung halamannya dalam kekafiran juga. Tidak ada perubahan.
Begitulah
cara manusiawi menghadapi keburukan dan kejahatan orang lain, air tuba tidak
harus dibalas dengan racun, gantilah dengan air susu, agar kita semua bisa
sehat dan segar.
0 komentar:
Posting Komentar