Kisah
ini terjadi pada zaman keemasan islam sekitar zaman dinasti bani
Umayyah atau bani Abbasiyah. Kisah kepahlawanan seorang mujahid muda
yang menjual dirinya kepada ALLAH Azza wa Jalla dalam jihâd fî
sabîlillâh untuk mendapatkan surga dan kenikmatannya.
Disebutkan oleh pengarang kitab al-wa’adh wa ar-raqâiq dari Abdul wahid
bin zaid, dia berkata, “suatu hari kami berkumpul didalam majlis. Kami
sedang bersiap untuk keluar berperang menghadapi musuh. Aku telah
memerintahkan para sahabatku agar segera bersiap untuk membacakan
beberapa ayat al-Quran ” maka seorang lelaki segera membaca surah
at-taubah :111, “innallâhasy-tarô minal-mukminîna anfusahum wa amwâlahum
bianna lahumul-jannah….” (sesungguhnya ALLÂH telah membeli dari
orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan surga….).
Mendengar bacaan tersebut, tampaklah disitu seorang pemuda belia yang
usianya kira-kira 15 tahunan, sedang ayahnya telah mewariskan harta yang
banyak. Pemuda itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, benarkah ALLÂH telah
membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan jannah
(surga?)….. akupun menjawab, “benar”… Pemuda itu kembali berkata, “Aku
bersumpah dihadapanmu bahwa aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan
surga”. .. Segera kukatakan kepadanya,”wahai saudaraku, sesungguhnya
tebasan pedang itu sangat dahsyat, sedangkan engkau masih sangat belia,
aku khawatir engkau tidak mampu bersabar dan akhirnya lemah ketika
menghadapi ujian itu”…. Si pemuda itu menjawab, “Wahai Abdul Wahid,
sesungguhnya aku telah menjual jiwaku kepada ALLÂH dengan imbalan surga.
Dan aku sangat bergembira bahwa aku telah bersumpah kepada ALLÂH dengan
sungguh-sungguh untuk menjual diriku kepada-Nya”.
Abdul Wahid berkata, “Mendengar perkataan pemuda itu, terasa jiwa kami
telah berubah menjadi kerdil dan lalai. Kami saling berucap, ‘anak muda
itu mampu berfikir sedangkan kita tidak mampu berfikir’. Setelah
mengucapkan kata-katanya, pemuda itu segera mengambil seluruh harta yang
dia miliki dan dia infaqkan semuanya kecuali seekor kuda dan
persenjataan yang dia miliki. Ketika datang waktu keluar untuk berjihad,
pemuda itulah orang yang pertama kali maju untuk berjihad. Dia berkata
kepadaku, “Assalamu’alaika, wahai Abdul Wahid “… Aku menjawab,”
wa’alaikas-salam, wahai yang beruntung dalam perniagaannya”…
Kami mulai melakukan perjalanan untuk menuju medan perang, dan selama
itu pula si pemuda itu selalu memenuhi harinya dengan berpuasa disiang
hari serta menegakkan qiyâmullail di malam harinya. Pemuda tersebut juga
yang memenuhi keperluan semua perbekalan kami dan kuda-kuda tunggangan
kami. Dia juga yang berjaga ketika kami tidur. Terus menerus pemuda itu
melakukan amalnya sampai kami menghadapi musuh dinegeri Romawi. Di suatu
hari kami mendengar dia berujar, “Betapa aku rindu kepada al-ainâ
al-mardhiyyah”. (nama panggilan untuk bidadari surga, pent) … Salah
seorang sahabatku berkata, “mungkin pemuda ini sedang mengalami godaan
didalam dirinya sehingga pikirannya kacau”… Aku bertanya kepada pemuda
itu, “Wahai saudaraku, apa yang engkau maksud al-ainâ al-mardhiyyah itu ?
”
Pemuda itu berkata, “Sesungguhnya aku tadi sempat mengantuk dan tertidur
sekejap, kemudian kulihat seakan-akan ada seseorang yang mendatangiku.
Laki-laki itu berkata kepadaku, “Pergilah engkau menuju al-ainâ
al-mardhiyyah”. .. Dia kemudian membawaku menuju sebuah taman yang
didalamnya terdapat sungai yang alirannya terbuat dari air yang tidak
berubah bau dan rasanya. Dipinggir sungai itu terdapat sekelompok
gadis-gadis jelita yang memakai perhiasan yang keindahannya tidak bisa
aku kisahkan. Ketika melihatku, maka gadis-gadis itu menyambutku dengan
ceria dan berkata, “inilah dia suami al-ainâ al-mardhiyyah !”… Segera ku
ucapkan salam dan kukatakan, “Assalaamu’alaikunna, apakah salah seorang
diantara kalian ini ada yang bernama al-ainâ al-mardhiyyah ? “…
Gadis-gadis itu menjawab,”tidak ada,… akan tetapi kami ini hanyalah para
dayang dan pelayannya semata,berjalanlah terus kedepan, maka engkau
akan bertemu dengannya”… Akupun segera berlalu ketika tiba-tiba aku
lihat sebuah sungai yang alirannya merupakan air susu yang tidak berubah
rasanya. Sungai ini terletak didalam sebuah taman yang berisi perhiasan
yang sangat indah sekali. Di dalam taman itu juga ditemukan sekelompok
gadis-gadis yang kecantikan dan keelokan rupa mereka segera membuatku
terlena. Ketika melihatku, maka gadis-gadis itu menyambutku seraya
berkata, “Demi ALLÂH, inilah dia suami al-ainâ al-mardhiyyah”… Akupun
mengucapkan,”Assalamu’alaikunna”, dan aku tanyakan pada mereka, “Apakah
salah seorang diantara kalian ini ada yang bernama al-ainâ
al-mardhiyyah?”…. Gadis-gadis itu menjawab, “Wa’alaikassalam, wahai
waliyullah, kami hanyalah para pelayannya, maka berjalanlah terus
kedepan”.
Aku terus berlalu, sampai kemudian kulihat ada sungai yang alirannya
terbuat dari khamr. Di pinggir sungai terdapat sekelompok gadis-gadis
yang begitu ku memandangnya, akupun segera lupa dengan kecantikan dan
keindahan gadis-gadis sebelumnya. Aku berkata,”Assalamu’alaikunna,
adakah diantara kalian ini yang bernama al-ainâ al-mardhiyyah?”… Mereka
menjawab,”Tidak ada, akan tetapi kami hanyalah para dayang dan
pelayannya semata”, berjalanlah terus kedepan”.. Akupun terus berjalan,
dan aku temui sebuah sungai yang alirannya terbuat dari madu jernih. Di
pinggir sungai terdapat sekelompok gadis-gadis yang memancarkan cahaya
dan kecantikan, sehingga aku menjadi lupa dengan kecantikan dan
keindahan gadis-gadis sebelumnya. Aku berkata, “Assalamu’alaikunna,
adakah diantara kalian ini yang bernama al-ainâ al-mardhiyyah ?”… Mereka
menjawab,”Wahai waliyullah, kami ini hanyalah para dayang dan
pelayannya, maka berjalanlah kedepan”.
Maka aku ikuti perkataan mereka dan aku terus berjalan sampai aku
bertemu dengan sebuah istana yang terbuat dari mutiara putih. Didepan
pintu istana tersebut terdapat seorang gadis cantik jelita, dia
mengenakan perhiasan yang begitu indah mempesona, sehingga aku tidak
bisa menerangkan keindahannya. Ketika melihatku, gadis itu tersenyum dan
bertutur kepada seseorang, “Wahai al-ainâ al-mardhiyyah, ini suamimu
telah datang”.
Aku bergegas mendekat ke istana. Dan ketika sampai didalamnya, aku lihat
al-ainâ al-mardhiyyah sedang duduk diatas ranjang emas. Gadis itu
mengenakan mahkota yang terbuat dari permata dan Yaqut (mutiara merah).
Begitu melihat gadis tersebut, aku segera tergoda dengan keindahan dan
kecantikannya. Dia berkata,”Selamat datang, wahai Waliyur-rahman, telah
dekat waktu kehadiranmu kepada kami”… Aku berjalan mendekati untuk
memeluknya, akan tetapi gadis itu menolak, dan dengan lembutnya ia
berkata, “jangan tergesa-gesa, belum tiba waktunya bagimu untuk dapat
memelukku. Engkau masih memiliki ruh didalam jasad. Maka berpuasalah
esok hari, kemudaian engkau akan berbuka bersama kami malam harinya,
insya ALLÂH “.
Wahai Abdul Wahid, kemudian aku segera terbangun dan aku tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengannya”.
Abdul Wahid berkata,”Belum sempat pemuda itu menyelesaikan ucapannya,
tiba-tiba datang sepasukan musuh menyerang kami. Segera pemuda itu
bangkit untuk menghadapi serangan dan berhasil membunuh Sembilan orang
dari pasukan musuh. … Lalu dia sendiri mendapatkan giliran yang
kesepuluh dengan terbunuhnya (sebagai syahid). Semoga ALLÂH mencurahkan
rahmat kepadanya. Akupun segera mendekati pemuda itu. Maka kulihat dia
terbujur dengan lumuran darahnya sembari tersungging darinya senyuman,..
hingga ruhnya keluar meninggalkan dunia ini”.
ALLÂHU AKBAR ….. !
Sumber : Disarikan dari buku : “Kisah-kisah Pahlawan generasi pilihan”
Karya Hilmi Bin Muhammad bin Ismail ; penerbit Wafa Press- klaten.
(terjemahan dari : Roudhur-rRiyâhîn fî qoshoshil-mujâhidîn).
0 komentar:
Posting Komentar