Tanya
nurani, “Mengapa ingin jadi guru?” Tak mungkin saya tanyakan jika tak
hendak ungkap sesuatu. Ajaib, dulu dilecehkan mendadak jadi profesi
favorit. Pasti ada apa-apanya, tak mungkin apa adanya.
Saya tersentak
menyimak celoteh seorang kawan pengelola bimbingan belajar, “Belakangan
ini, banyak orangtua yang mengarahkan anak-anaknya melanjutkan studi di
universitas keguruan. Ini trend pascaadanya kebijakan sertifikasi guru.
Enak kan menjadi guru, bisa kaya, apalagi jadi guru Pegawai Negeri
Sipil (PNS)”. Ah, ada udang dibalik batu. Kalau kebijakan ini
ditiadakan, masihkah setia pada profesi guru?
Ketika mulut berucap, cermati apa yang diungkap kata hati. Sesuaikah? Guru, identitas yang harus dijaga kehormatannya. Ketika guru keliru bertutur, persoalan bisa runyam. Apalagi terbukti bersalah, apapun masalahnya, siap-siap digugat ramai-ramai. Seolah tak mau tahu, muara kesalahan selalu ditimpakan kepada guru. Kalau teguh bersikukuh dalam kebaikan, paling dianggap kewajaran. Kalau berbuat salah, habislah guru. Mengapa harus begitu? Bukankah guru juga manusia? Wahai guru, tanya nuranimu, sampai kapan kuat bertahan dalam situasi seperti ini?
Guru harus tegas menentukan sikap. Jadilah guru yang baik atau tidak sama sekali. Jika masyarakat tak hargai kerja kita, tetaplah berbuat baik. Andai pemerintah tak berpihak mencukupi hak-hak guru, tetaplah berbuat baik. Ketika orangtua murid menyepelekan, tetaplah berbuat baik. Meski murid mulai berani ‘mengencingi’ guru, tetaplah berbuat baik. Benahi diri sendiri, lalu perhatikan apa yang terjadi. Gugat terus nuranimu, “Sanggupkah jadi guru di negeri salah urus ini?”
Memang menarik, menggugat
nurani bisa jadi cara terbaik membangun kesadaran diri. Ketika guru
menggugat nurani, curhatnya seperti ini, “Guru rusak? Ya, asal tak
merusak murid, asal tak menyesatkan murid. Urusan ringan, sedang, berat,
terserah saja. Kalau memang sudah rusak, mau apa?” Gugatan ini tersaji
di grup facebook Ikatan Guru Indonesia (IGI). Bukan asal menggugat, tapi
mengajak semua guru merenung. Satu guru melempar pernyataan, semua
anggota komunitas saling bersahutan merespons.
“Guru itu harus baik,
jangan sampai ada guru rusak”, terang seorang guru. Jelaslah sudah ini
jawaban normatif. Semua orang mafhum hal itu. Coba kerahkan segenap
energi untuk berpikir lebih keras. Jika guru rusak, seberapa besar
dampaknya pada murid? Apa kiat cegah guru agar tak rusak? Soal penting
yang mesti dijawab tuntas. Jawabannya ditemukan juga. Saya terpukau
dengan penjelasan seorang guru menyikapi soal guru rusak, “Kalau
organisasi itu bagaikan ikan, maka ikan akan busuk mulai dari kepalanya.
Siapa yang ada di kepala ikan ya? Masak guru, kan harusnya atasannya”.
Singkat, padat, sarat makna. Tegasnya, penguasa dzalim pada guru, masa
depan bangsa sedang dipertaruhkan.
Wahai guru, ada saat-saat
tertentu kita harus bekerja dengan alasan uang & bukan karena makna
dari pekerjaan itu. Tapi, seberapa bahagia kita melakoninya? Berbisnis
dengan manusia, siap-siaplah kecewa. Apalagi menggantungkan diri pada
pihak luar, bisa kecewa berkepanjangan. Berbisnis dengan Allah SWT,
Insya Allah kemuliaan berharap bisa diraih. Semoga keputusan kita
menjadi guru tak dipengaruhi faktor eksternal yang kerap bisa
berubah-ubah.
Ingat pepatah Cina, “Jika
kau ingin bahagia satu jam, pergilah tidur. Jika kau ingin bahagia satu
hari, pergilah memancing. Jika kau ingin bahagia satu tahun,
bermunajatlah pada Tuhan. Jika kau ingin bahagia sepanjang hidupmu,
bantulah orang lain”. Menjadi guru berarti menjadi jalan terbaik
membantu murid-murid meraih kesuksesan hidup mereka di masa depan. Murid
berhasil hidupnya, seperti apa kebahagiaan guru? Tak bisa diungkap
dengan kata-kata. Maka jika hidup guru tak bahagia, mengapa?
Takdir terlahir di
Indonesia bukan pilihan. Menjalani takdir sebagai guru di bumi pertiwi,
jelaslah ini sebuah pilihan. Pastikan pilihan itu bersumber dari
panggilan hati, bukan karena bisikan tetangga kanan kiri. Guru di negeri
lain, katakanlah di negeri serumpun, sangat dihormati & dimuliakan.
Tapi di sini, kita mesti berdiri tegar sendirian. Mari seksamai, ada
hikmah besar yang bisa kita ambil. Bukankah menjadi baik di antara yang
rusak itu jihad? Maka, berjuang menjadi guru untuk mengubah kerusakan
menjadi kebaikan, itulah jihad yang sesungguhnya.
Wahai guru, tetaplah mengasah hati nurani. Bertanyalah selalu, “Mengapa saya harus menjadi guru?” Jika jawabnya, “Because it is my life”, maka teruslah berjuang dan berkarya demi masa depan anak negeri yang lebih baik. You’ll never walk alone. (republika)
2 komentar:
Ga kebayang deh kalo guru yang ngajar di sekolah SLBB :( perjuangannya pasti mati"an ya haha..... Ada temen yang masuk pendidikan LB tuh di UNJ, mudah"an dia juga di beri kesabaran haha..... postingan yang menarik gan, visit juga ya www.ipb.ac.id
iya gan makasih sudah berkunjung....
saling tuker link aja ya....
insya Allah kapan2 saya berkunjung ke situs nte....
Posting Komentar