Deru
kendaraan bermotor membuat pening kepalaku. Seolah ada yang berbisik
untuk segera singgah ke masjid depan kampus. Masjid yang berdiri tanpa
kubah dan ditemani sebuah menara yang menjulang tinggi itu memang selalu
menjadi peneduhku. Bukan berarti aku orang yang alim. Tapi adanya
kerinduan dengan masjid ini juga membuatku berasumsi, aku masih punya
secercah iman yang terjaga. Ku lirik beberapa akhwat di selasar masjid
ini. Riuh rendah mereka bersenda gurau di dekat tangga masuk aula utama.
Aku pun terduduk menghadap sang menara. Mataku meneropong seorang gadis
dengan asyik mengayunkan kameranya. Beberapa ku lihat ia membidik pose
manyunku. Ia berlari mendekatiku.
“ Wah mata kakak indah.
Bulat coklat. Mungkin itu yang membuat wajah kakak fotogenik” Cercah
gadis ini. sekilas suaranya mirip bebek. Begitu cempreng di telingaku.
“ Kamu tampaknya suka fotografi. Sering ke masjid ini?”
Raut wajahnya seolah
mengatakan jawaban yang sebaliknya. Namun wajahnya tetap manis. Ah
tidak, ia sangat cantik. Dari alur wajahnya dapat aku lihat ada
keturunan etnik Cina tergambar jelas. Aku merasa mengucapkan sesuatu
yang salah. Ku lihat ia hanya mengulurkan tangannya yang aku tahu ia
ingin berkenalan denganku. Wah satu angkatan rupanya. Maklum aku masih
terhitung mahasiswa baru di sini. Perbincangan pun mulai mengalir di
antara kami. Meski hanya sekedar SKSD, aku pribadi merasa sangat nyaman
dengan gadis yang aku kenal ini. Sesekali ia menunjukkan koleksi foto di
album kameranya. Penampilannya menyiratkan bahwa ia bukan berasal dari
keluarga kalangan bawah. Tidak mau kalah, aku pun menceritakan acara
kepanitiaan P3R yang sedang aku jalani. Namun dari sekian banyak cerita,
kulihat ia agak terperangah saat aku menyebutkan jumlah panitia yang
terlibat. Bukan berarti ia tidak tahu betapa spesialnya bulan Ramadhan
namun jumlah yang aku sebutkan sungguh di luar perkiraannya. Obrolanpun
menjadi lebih seru saat aku mulai menjelaskan susunan kepanitiaannya.
Tak jarang kami mulai melempar gurauan.
***
Seminggu telah berlalu semenjak pertemuanku dengan Vina. Namun bagiku, aku merasa bertahun-tahun mengenalnya. Sampai-samapi ia menerima ajakan ku untuk bergabung dalam kepanitiaan P3R tahun ini. Banyak rekan yang memuji bakat luar biasanya. Memang penilaianku terhadap bakat kreatifnya kali ini tidak meleset. Kepribadiannya tidak jauh berbeda dengan wajahnya yang cantik. Bahkan aku kira sifatnya mirip dengan putri di negeri dongeng. Hampir sempurna menurutku. Aku hanya menyayangkan satu hal pada dirinya. Ia tidak berjilbab. Yah bukan berarti aku yang berjilbab lebih baik dari Vina.
Siang itu begitu terik. Keadaanku yang sedang menjalankan ibadah puasa membuatku berniat untuk merebahkan tubuh ini di ranjang asrama. Namun sejenak aku mengurungkan niatku saat aku melihat si bebek membawa beberapa kertas di tangannya. Terlihat sekumpulan kaligrafi dan cerita-cerita sahabat Rosulullah.
“Alim banget ni, anak! Oh mungkin cuma di bulan Ramadhan” Batinku. Aku mencoba menggodanya.
“Aku sangat suka kaligrafi,terutama yang ini. Bukankah ini bertuliskan Muhammad ?”
Aku mengambil kertas di tangannya. Goresan pensil ini memang terlihat sangat nyata. Namun aku mulai mendengar sayup suara Vina yang sedang mengucapkan bacaan surat Muhammad.
“ Ayo jangan bengong, buka Qur’annya. Nanti kalau ada bacaan yang salah tolong di benarkan.” Ia melanjutkan bacaannya. Seakan tamparan dari ilahi yang sedang mengingatkanku untuk memupuk ibadahku dibulan suci ini melewati sahabatku ini. aku pun mengucapkan istighfar dalam hati.
Aku sangat beruntung mempunyai teman seperti Vina. Sempat aku merenungi bahwa secara tidak sadar aku mendapat pelajaran untuk semakin giat menambah ibadahku melalui Vina. Tanpa ajakan ataupun perintah, aku merasa lebih tertantang untuk senantiasa memperbaiki diri. Bahkan perilaku Vina ini justru lebih mengena dibandingkan nasehat orang tua mapun guru ngajiku. Faktanya, bukan aku saja yang merasakan sindrom ini. beberapa panitia yang lain juga menuturkan hal yang sama seperti yang sedang aku alami. Ia seolah magician yang menghipnotis lingkungannya tanpa seolah menggurui atau memaksakan keinginannya. Ia selalu mengatakan bahwa kita harus senantiasa menyegarkan iman kita dengan amalan-amalan kita dan mengurangi segala maksiat yang kita perbuat. Bahkan ia sering menceritakan kisah-kisah teladan favoritnya tanpa terkesan ingin mendominasi. Entah semangat dari mana ia sangat girang saat membicarakan bulan yang sangat spesial ini.
Aku semakin intens melihat Vina muncul di sekitar sekretariat panitia. Tentu bersama kameranya yang sudah menjadi ciri khasnya. Wajah cupetnya lebih cepat menoleh ke arahku dibandingkan tanganku yang berniat menepuk bahunya. Ia seakan melihat malaikat yang akan menjawab doanya.
“ Waduh Oca, aku mau ijin nih. Aku nggak bisa bantu di acara ini” Masih tetap dengan suara bebeknya.
“ Gampanglah ntar waktu absen aku bilangin deh. Emang mendesak banget ya?”
“Iya… aku mesti ke Pura dulu jam empat” Seraya memasukkan kamera ungu ke dalam tasnya. Ia langsung berlari meninggalkanku yang masih terpaku.
PURA???? Batinku
bertanya-tanya. Vina adalah umat Hindu? Apa aku yang salah dengar? Jadi
selama ini aku hanya sok tahu tentang dirinya. Aku mengira kami sudah
saling memahami satu sama lain. Lalu kenapa ia menerima kepanitiaan ini?
Aku tak habis pikir
mengingat ia sangat bijak dalam menyampaikan argumen-argumen nya tentang
islam. Belum selesai rasa heranku , aku merasakan sesuatu yang bergetar
disamping tempatku terduduk. Oh sebuah HP dengan panggilan masuk. Tapi
Hp siapa? Ah Hp Vina. Iseng aku menerima panggilan itu tanpa bersuara.
Kudengar suara wanita paruh baya Berbicara di suatu tempat keramaian.
Dari nada bicara wanita ini, terdengar hal yang akan dibahas kali ini
sangat serius. Kurasa dia menginginkan Vina untuk menjauhi orang-orang
masjid atau ia tidak akan diakui sebagai anaknya. Sontak aku mengakhiri
panggilan itu. aku merasa cemas dan bingung . Apa yang harus aku katakan
pada Vina layaknya seorang teman?
***
Sorak sorai suara
wisudawan masih terngiang jelas di telingaku. Beberapa menit aku
menikmati perasaan haru ini. Seakan aku hanyut dalam suasana yang
melenakan saat ini. Aku dikejutkan dengan datangnya sebuah surat
terbungkus rapi didalam amplop yang dibawa oleh salah seorang temanku.
“Dari siapa?” Tanyaku seraya merengkuh surat ditangannya.
“Aku hanya disuruh untuk
memberikannya langsung kepadamu.” Selesai mengucapkan kata itu ia
langsung kembali ke tempat duduknya. Entah kenapa akumerasa aneh saat
menerima amplop itu. Aku hanya memasukkannya ke saku baju wisudaku.
Aku hanya dapat menatap
gedung wisuda semakin menjauh dibalik kaca mobil. Terdengar ocehan
bahagia kedua orang tuaku yang sedari tadi membicarakan beberapa rencana
untuk masa depanku. Aku sendiri sibuk dengan walkman yang memutar
beberapa lagu lawas. Beberapa lagu itu seolah mengingatkanku dengan Si
Bebek Cina yang sudah lama hilang tanpa kabar. Andai sahabatku datang
pada hari yang bahagia ini. Tidak peduli akan sampai atau tidak, aku
memutuskan untuk mengiriminya sebuah SMS.
Write message:
Gmn kbarmu? Kmn kau skrg? Jahat…
tdk ada tlp, tdk ada sms, tdk ada kbr pula…
tdk ada tlp, tdk ada sms, tdk ada kbr pula…
Menghilang tanpa pemberitahuan.
Dasar Si Bebek jelek.
Selesai mengirim sebuah
pesan itu, aku teringat dengan surat yang diberikan temanku sewaktu
prosesi wisuda tadi, aku membuka amplop putih itu.
Assalamualaikum…
Gimana kabarmu, Oca?
Mungkin hari ini adalah hari dimana aku melihatmu terlihat sangat cantik
untuk pertama kalinya. Kurasa baju toga mu lebih serasi jika bersanding
dengan seorang ikhwan yang akan menjadi calon suamimu.
Maaf telah menghilang
selama ini, aku dikirim ke Australia untuk menjauhkanku dari masjid ini.
Walau perkenalan sangat singkat namun aku sangat bahagia dapat
bergabung dengan P3R. Dulu kita berkenalan saat ramadhan kini aku
kembali dibulan yang sama pula. Benar-benar bulan yang sangat spesial.
Tapi kini aku pulang bukan sekedar untuk melihat prosesi wisudamu
melainkan SAYA INGIN MASUK ISLAM.
Si Bebek Comel
Aku terkejut mendapat
surat itu, sontak aku langsung berteriak meminta untuk putar balik.
Namun nasib baik belum menyertai kami. Mobilku menabrak seorang akhwat
berjilbab di pinggir jalan. ku lihat dibalik kaca mobilku dengan tangan
gemetar. Sesosok muslimah tergeletak dengan bercak darah segar di jilbab
biru muda yang dikenakannya. Semua orang berlarian ikut mengevakuasi
sang akhwat malang itu.
Saat perjalanan ke rumah
sakit, akhwat bertubuh mungil ini menggenggam tanganku. Kini aku
menyadari bahwa ia adalah Si Bebek, sahabatku yang selama ini
menghilang. ia mengisyaratkan untuk membimbingnya bersyahadat. Dengan
air mata yang bercucuran aku pun menuntunnya dengan hati-hati. Akhirnya
ia pergi setelah mengucapkan syahadat pertama dan terakhir kalinya di
bulan yang sangat ia agungkan. Aku percaya, ia telah islam saat bertemu
denganku dan ia adalah orang yang dikirim oleh Allah sebagai penyegar
imanku.
Oleh: Eva novitalia, Pekalongan
2 komentar:
Wah.... Dipost ya
Posting Komentar