Kisahku ini di mulai saat aku menimba ilmu di sebuah pondok
pesantren modern di kotaku. Abah dan Ummi juga sangat meridhoiku saat itu.
Entah alasan apa yang membuatku memutuskan untuk meneruskan perjuangan menimba
ilmuku ke pondok tersebut.
Saat aku berusia tiga belas tahun, seorang teman Ummi sebut
saja Om Ajid memberikanku sebuah buku cantik berjudul Pelangi–Pelangi Akhwat
karya Bang Yoli Hemdi, sungguh itu adalah buku yang tak hanya indah covernya
tapi isinya juga jauh lebih dahsyat. Aku terpukau oleh jalinan kata–kata yang
tertulis indah di buku itu. Segala hal mengenai akhwat dibahasnya, sesuai zaman
memang. Mulai dari perlakuan masa lalu mengenai perda daerah yang tidak
diperkenankanya siswi memakai kerudung di sekolah. Juga tentang problema masa
kini yaitu banyaknya aktifis dakwah yang berjatuhan di jalan cinta.
Aku sungguh, tiada lagi keraguan saat membaca buku itu. Pintu hatiku tergerak untuk mengenakan kerudung, berhijab secara sempurna. Walau banyak rintangannya tapi itulah hal terindah yang harus kupertahankan.
Awal masuk ke pondok, aku merasa sedikit kikuk. Karena banyak
dari teman–temanku sudah banyak yang ku sebut “Luar biasa” mulai dari yang
pandai baca kitab, menghafal hadits, menghapal Qur’an, juga yang berbakat dalam
bidang Art.
Nida, Sucipta Annida Saraswati, temanku satu kamar. Dia asli Semarang, darinya aku bisa belajar kemandirian. Jujur kepada Nida lah ku banyak belajar kosa kata bahasa arab, karena aku sering diajaknya berkomunikasi. Beda dengan teman yang lain.. yang agak cuek padaku, mungkin karena aku santri baru. Yah, dan masih banyak santri baru yang sama denganku.
Hari itu, di tahun itu tepat ketika kenaikan kelasku ke
tingkat 3 Madrasah Aliyah, pimpinan pondok yaitu K.H Mohammed Al Qurtubi yang
ku kenal asli Turki itu menyerahkan jabatannya sebagai pimpinan pondok kepada
menantu beliau Ustadz Ahmad Syaufi Salim. Karena alasan faktor usia, pondok
pesantren Diniah Islamiyah Al Qurtubi secara sah menjadi milik Ustadz Ahmad.
Dan sejak saat itulah, suasana pondok menjadi berubah. Semakin
hari pemikiranku semakin tak sejalan dengan tempat yang ku sebut itu pondok.
Benar saja, kegiatan kerohanian banyak yang ditiadakan mulai dari rutinitas
pulang sekolah untuk menyetorkan hafalan hadist ke wali pondok (baca: Ustadzah)
hingga pelajaran umum yang ditambahkan waktunya lebih banyak. Alasan beliau
agar kami menjadi santri yang berfikir global berakhlak lokal.
Beruntung saja, Fauzi dan Asni (adik tingkatku) berhasil
menyabet medali perak untuk olimpiade sains nasional yang diadakan di Jogja
tahun itu. Memang pondok kebanggaanku itu sudah berubah, makin banyak prestasi
yang di raih, mulai dari juara 3 basket se kecamatan hingga juara 1 Nasyid se
kabupaten Mojokerto. Namun ada satu hal yang sungguh membuatku kecewa. Kegiatan
rutin mengaji kitab selepas Isya’, qiro’ah sab’ah setiap minggu siang hingga
sore, serta zikir bersama tiap selesai tahajjud di musholla. Itu semua
digantikan oleh les, latihan basket, latihan futsal, vocal voice. Hingga yang
tak ku habis fikir kegiatan Zikir ba’da tahajjud kini hanya berjamaahkan
beberapa orang saja. Tak sebanyak yang dulu.
Tentu keadaan ini, membuatku agak sedikit tidak nyaman,
kuberanikan diri untuk curhat pada Ustadzah Shofiah (Wali pondokku) tapi beliau
tak dapat berbuat apa–apa. Hingga kabar inipun terdengar oleh Kiyai Qurtubi
pimpinan kami yang dulu. Beliau juga sepemikiran denganku, beliau sangat
menyayangkan hal yang telah terjadi ini. “Kehidupan ukhrawi jauh lebih penting
dari pada kehidupan duniawi. Jika memang kita menginginkan sukses di kehidupan
duniawi maka jangan pernah kita mengorbankan kehidupan ukhrawi kita.” Begitu
pesan beliau. Aku meresapinya dalam.
Ketika seusai menyetorkan hafalan hadits, tak sengaja aku
bertemu dengan Hisyam dan Fauzi, keduanya adalah adik tingkatku yang menjabat
sebagai kepala suku atau biasa di sebut ketua osis dan wakilnya. Ku curhatkan
semua uneg–unegku pada mereka. Mengenai gaya dakwah di pondok ini yang mengarah
ke sikap hedonis. Juga para pengurus yang cenderung lamban dalam menyikapi
masalah, banyak sekali kekurangan–kekurangan pondok yang ku ungkit. Termasuk
ajaran sikap yang diajarkan oleh Ustadz Ahmad yang ku anggap tak sepatutnya di
tiru, karena berlawanan dengan yang diajarkan rasulullah. Betapa tidak, beliau
begitu sombongya dengan apa yang telah dicapainya. Beliau juga selalu
memilih–milih tempat yang akan didatangi untuk berceramah. Itu semua luapan
kekecewaanku.
Hingga karena curhatku itu, aku di panggil menghadap ke ruang
disiplin atau istilahnya BP. Dinterogasi habis–habisan, hingga akhirnya para
dewan asaatidz menyelenggarakan rapat hanya untuk membahasku. Sebagian kecil
dari dewan asatidz merasa setuju dengan pendapatku termasuk ustadzha Shofiah.
Namun karena kekuasaan, aku akhirnya dikeluarkan. mungkin karena takut aku akan
mengungkapkan kekurangan–kekurangan yang lain dan janggal mengenai pondokku
tercinta itu.
Karena dikeluarkan, aku akhirnya diam–diam tanpa
sepengetahuan Ummi dan Abi bersekolah di Pondok Salafiah Darul Najah,
Mojokerto. Walau beberapa bulan. Tak apa, asalkan aku tetap pada pemikiranku
tentang islam dan tak ternodai oleh sikap hedonis yang nista itu.
Selulusku dari Madrasah Aliyah, aku mencoba untuk belajar
lagi di sekolah ilmu Dakwah pesantren salafiah Darun Najah, di bawah bimbingan
Ustadz Mujiburrahman. Santri yang di terima hanya 45 orang saja pertahunnya,
itu semua karena terbatasnya guru pembimbing atau guru spiritual. Bayangkan
saja, lima orang untuk satu guru pembimbing. Dan aku termasuk di bimbing oleh
Ustadz Mujiburrahman, Lc. Seorang ustadz muda jebolan Darun Najah yang terkenal
luar biasa cerdasnya dikalangan ustadz yang lain. Itulah yang membuatku
bersemangat menggapai cahaya dakwah.
Pada mulanya, di setiap liqo’ atau pertemuan beliau
menyarankan agar kami dalam waktu lima bulan telah menemukan metode dakwah
kami. Farid, Husni, Bo’im, Risma juga Aku satu kelompok. Namun di antara
semuanya, hanya aku yang tidak begitu menguasai public speaking. Karena mugnkin
golongan darahku A yang agak sedikit introvert dan tidak banyak omong. Makanya
aku kurang menguasai public speaking.
Aku mulai berkonsultasi pada Ustadz Mujib, beliau hanya
menyarankan agar aku terus berusaha. Jika memanga bakatku tidak pada public
speaking, mungkin bakatku dalam hal yang lain.. seni kah itu atau apalah.. yang
penting pesan dakwah untuk terus berjuang menegakkan dienullah di bumi ini. Aku
mulai ingat akan hobiku menulis cerpen dulu semasa SMP. Hingga ku memutuskan
untuk mengambil metode dakwah dengan cara menulis. Walau progress nya tak
seluar biasa yang didapatkan teman lain, seengaknya aku telah mampu menemukan
metode dakwahku sendiri.
Yang selalu ku tulis di setiap akhir karyaku adalah sebuah
motto yang berbunyi “Dakwah kami adalah Dakwah Tauhid”. Kata itu yang terus
mengelayut di dalam benakku hingga terus memotifasiku. Benar–benar luar biasa,
dua bulan setelahnya aku mulai mengembangkan sayap dengan berusaha mengarang
sebuah novel inspiratif kisah masa lalu yang mungkin bermanfaat untuk orang
lain. Dengan judul yang sama dengan mottoku. Ternyata sambutan pemirsa sungguh
luar biasa. Aku mulai menjadi pribadi yang diperhitungkan.
Namun ada satu hal yang belum bisa aku mewujudkannya, yaitu
dakwah metode tabligh… sungguh perasaan ingin menyampaikan seluruh isi kepala
ini kepada jama’ah tak terbendung lagi. Hingga di suatu pengajian para ibu–ibu,
aku dipercaya dan diberi kesempatan yang sangat berharga ini.
Walau sedikit terbata karena grogi, namun tetap kunikmati..
ibu–ibu pengajian yang menghadiri, menyimak kajianku dengan penuh kekhusyu’an.
Aku menjadi berarti di forum itu. Dan setelah itu ustad Mujib memberikanku
selamat. Ternyata aku bisa menaklukkan rasa malu yang teramat sangat di depan
para jama’ah.
Waktu terus berlalu.. beberapa novel karyaku telah banyak
yang di rilis dan Alhamdulillah sungguh sukses di pasaran. Hingga aku
memutuskan untuk berhijrah mencari tetes demi tetes bulir ilmu di negeri yang
terkenal dengan julukan tirai bambu itu. Ya China!
Aku disana di percaya menjadi ketua piminan di Islamic center
yang berpusat di masjid raya di Guang Zhou, China. Setiap hari kegiatanku tak
pernah lepas dari mobilitas kos- Masjid, walau terkadang aku menyempatkan diri
untuk bertemu sahabat-sahabatku setanah air di kompleks perumahan kedubes
Indonesia. Ukhuwah itu memang indah.
Murottal bersama Syaikh Rofi’, di masjid raya setiap hari jum’at sabtu dan minggu. Mengadakan evaluasi kerja tiap bulannya. Kajian setiap minggu serta membimbing para mujahid dan mujahidah kecil dalam membaca firman Allah.. Oh sungguh indah hari–hariku kala itu.^_^
*Semoga Bermanfaat*
by: B.Rahmayanti Masruri
0 komentar:
Posting Komentar