Diantara umat islam yang mengaku ulama atau pakar ajaran
Islam, ada orang yang menisbatkan dirinya kepada sunnah ulama salaf yang saleh.
Mereka mengaku sebagai pengikut ulama salaf juga mengaku Ahlu Sunnah wal
Jama`ah. Dengan gagah berani dan penuh kebanggaan, mereka mengajak umat islam
untuk mengikuti jejak langkah atau sunnah para ulama salaf yang saleh dengan
cara-cara primitif, penuh kebodohan, fanatisme buta, dengan pemahaman yang
dangkal dan dengan dada (pengertian ) yang sempit.
Bahkan, mereka juga berani memerangi setiap sesuatu yang baru
dan mengingkarisetiap penemuan baru yang baik dan berfaedah hanya karena
dinilai (oleh pemahaman mereka yang sempit) sebagai bid’ah. Dalam pemahaman
mereka, tidak ada sesuatu yang bid’ah kecuali pasti menyesatkan. Mereka tidak
mau melihat adanya realitas yang menuntut adanya perbedaan antara bid’ah
hasanah (yang baik) dan bid’ah dlolalah (yang sesat). Padahal ruh Islam
menghendaki adanya pembedaan antara berbagai bid’ah yang ada. Semestinya umat
Islam mengakui bahwa bid’ah itu ada yang baik dan ada yang sesat atau
menyesatkan. Yang demikian itulah yang menjadi tuntutan akal yang cerdas dan pemahaman
atau pandangan yang cemerlang.
Itulah yang di – tahkiq atau diakui kebenarannya setelah
dilakukan penelitian oleh para ulama ushul (fiqh) dari kalangan ularna salaf
yang saleh, seperti Imam Al-’Izz bin Abdussalam, Imam Nawawi, Iman Suyuthi,
Imamn Jalaluddin AI-Mahally, dan Ibnu Hajar — Rahimahulloh Ta’ala
Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw – untuk menghindari
kesalah-pahaman – perlu ditafsiri sebagiannya dengan sebagian hadits yang lain,
dan diperjelas kesempurnaan arahnya dengan hadits-hadits lainnya. Umat Islam
perlu memahami sabda Nabi Muhammad Saw itu dengan pemahaman yang cermat dan
komprehensif, sempurna dan menyeluruh. Jangan sekali-kali memahaminya secara
parsial atau sepotong-sepotong. Ia juga mesti dipahami dengan ruh Islam dan
sesuai dengan pendapat para ulama salaf saleh.
Oleh karena itu, kita menemukan banyak hadits yang untuk
memahaminya secara benar diperlukan kecermelangan akal, disertai hati yang
sensitif yang pemaknaan dan pemahamannya didasarkan pada “lautan syariat Islam”
sambil memperhatikan kondisi dan situasi umat Islam dan berbagai kebutuhannya.
Situasi dan kondisi umat memang harus diselaras-kan dengan batasan-batasan
kaidah Islam dan teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, tidak boleh keluar
dari itu.
Diantara contoh hadits yang perlu dipahami secara benar dan
komprehensif, proposional dan sempurna adalah sabda Nabi Muhammad Saw berikut
Setiap bi’ah adalah dlolalah
“menyesatkan”.
Untuk memahami hadits seperti itu, kita mesti mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut adalah bid’ah sayyi’ah.
Yaitu bid’ah yang salah dan menyesatkan. Bid’ah yang dimaksud dengan sabda Nabi
Muhammad Saw tersebut adalah suatu peribadahan yang tidak didasarkan pada
ajaran pokok agama Islam.
Pendekatan yang seperti itu pula yang harus digunakan untuk
memahami berbagai hadits, seperti hadits berikut (Yg artinya - Wallohu wa
Rasuluhu a’lam):
Tidak ada shalat – yang sempurna- bagi tetangga masjid kecuali (yang dilakukan) di dalam masjid.
Hadits diatas, mekipun mengandung “pembatasan” (hashr), yaitu
menafikan (meniadakan) shalat dari tetangga masjid, tetapi kandungan umum dari
berbagai hadits lain mengenai shalat mengisyaratkan bahwa hadits tersebut perlu
dipahami dengan suatu kayyid atau pengikat. Maka pengertiannya, “tidak ada
shalat (fardu) yang sempurna bagi tetangga masjid, kecuali di masjid.”
Begitu pula berkenaan dengan hadits Rasulullah Saw di bawah
ini (Yg artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
Tidak ada shalat dengan (tersedianya) makanan.
Maksudnya, tidak ada shalat yang sempurna jika makanan telah
tersedia. Seperti itu pula pendekatan yang harus kita gunakan untuk memahami
hadits berikut (Yg artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
“Tidak beriman (dengan keimanan sempurna) salah seorang di
antaramu kecuali ia mencintai sesuatu untuk saudaranya seperti ia mencintainya
untuk (kepentingan) dirinya”
Begitu juga hadits berikut (Yg artinya - Wallohu wa
Rasuluhu a’lam):
”Demi Allah, tidak beriman; Demi Allah, tidak beriman;
Demi Allah, tidak beriman – dengan keimanan yang sempuma.” Ada yang
bertanya: ”Siapakah – yang tidak sempurna keimananya itu – wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda: ”Orang yang tidak menyelamatkan
tetangganya dari gangguannya”
“Tidak masuk surga pengadu domba.”
“Tidak masuk surga pemutus tali persaudaraan. Tidak masuk
surga orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya.”
Menurut para ulama, yang dimaksud tidak masuk surga itu
adalah tidak masuk secara baik dan utama, atau tidak masuk surga jika
menganggap halal atau boleh melakukan perbuatan munkar seperti itu. Jadi, para
ulama – atau pakar – itu tidak memahami hadits menurut lahirnya; mereka
memahaminya melalui takwil.
Maka harus seperti itulah memahami hadits tentang bid’ah,
Keumuman kandungan berbagai hadits serta kondisi dan sikap para sahabat
mengesankan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut hanyalah
bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelas-jelas tidak ada landasan pokok dari ajaran
Islam); tidak semua bid’ah.
Cobalah kita perhatikan hadits-hadits berikut ini (Yg
artinya - Wallohu wa Rasuluhu a’lam):
Siapa yang menetapkan – atau melakukan – suatu kebiasaan
(Sunnah) yang baik, maka ia berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya sampai hari kiamat ….
Hendaklah kamu sekalian (mengikuti) Sunnahku dan Sunnah para
kholifah yang cerdik pandai dan mendapat petunjuk…
Perhatikan juga perkataan Umar bin Khathab r.a. mengenai
salat tarawih: ”Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (Yakni, melakukan salat tarawih
dengan berjamaah - penrj). Hanya Allah Yang Lebih Mengetahui yang sebenarnya.”
Perlu Pembedaan antara Bid’ah Syar’iyyah dan Bid’ah
Etimologis
Ada sebagian umat Islam – yang mengaku-ngaku sebagai pakar –
mengkritik secara pedas adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah. Mereka mengingkari dengan sangat keras setiap orang yang
menerima pembagian bid’ah seperti itu. Bahkan, ada di antara mereka yang
menuduh fasik dan sesat terhadap setiap orang yang mempunyai paham demikian.
Menurut mereka, hal itu didasarkan pada sabda Nabi Muhammad
Saw: ”Setiap bid’ah adalah sesat”. Secara redaksional, hadits tersebut
meng-isyaratkan keumuman makna bid’ah – bukan hanya bid’ah tertentu – dan
dengan tegas menyifati bid’ah sebagai perbuatan yang sesat atau menyesatkan.
Oleh karena itu, mereka berani mengatakan: ”Apakah dibenarkan atau dapat
diterima – setelah sabda Rasulullah Saw – penetap syariat yang menegaskan bahwa
seitiap bid’ah itu sesat, (lalu) muncul seorang mujtahid atau faqih, setinggi
bagaimana pun tingkatannya, berpendapat: ”Tidak,’Tdak! Tidak setiap bid’ah itu
sesat, tetapi, sebagiannya ada yang sesat, sedang sebagian lagi bagus, serta
ada juga yang sayyi’ah atau buruk.”.
Dengan pendekatan seperti itu, banyak umat Islam yang
tertipu. Mereka bersama-sama berteriak-teriak menyatakan pendapatnya, dan
bersama pengingkar lainnya mengingkari pendapat yang lain. Ternyata kebanyakan
mereka itu adalah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan atau
maksud-maksud ajaran Islam [maqashid al-syari’) dan belum merasakan ruhnya.
Selang beberapa saat, mereka terpaksa melakukan, mencari
jalan keluar dari berbagai problematika kontradiktif dan bemacam-bemacam
kesulitan yang dihadapinya, untuk memahami realitas yang dilaluinya. Mereka
berusaha menemukan suatu penemun baru atau inovasi baru dengan membuat suatu
perantaraan. Tanpa perantaraan atau washilah itu, mereka tidak dapat makan,
tidak dapat minum, tidak kuasa mendapatkan tempat tinggal, tidak dapat
berpakaian, tidak dapat bernafas, tidak dapat bersuami atau beristri, bahkan.
tidak dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya, dengan
saudara-saudaranya, tidak pula dengan masyarakat-nya. Perantaraan yang dimaksud
adalah memunculkan suatu definisi baru tentang bid’ah, bahwa ”Sesungguhnya
bid’ah itu terbagi atas bid’ah diniyyah – berkaitan dengan agama – dan
bid’ah dunyawiyyah – berhubungan dengan urusan-urusan duniawi.
Subhanallah! Mahasuci Allah! Orang ”yang suka main-main” ini
berani sekali membolehkan dirinya menemukan penemuan baru berupa pembagian
semacam itu; atau, paling tidak, menemukan penamaan atau definisi baru mengenai
bid’ah. Jika kita menerima hahwa pembagian atau klasifikasi seperti itu sudah
ada sejak masa Nabi Muhammad Saw – meskipun klasifikasi bid’ah kepada diniyyah
dan dunyawiyyah, secara pasti tidak pernah ada pada masa tasyri’ – dari mana
kiasifikasi semacam itu lahir? Dari manakah penamaan baru tersebut timbul’?
Kepada siapa saja yang mengatakan bahwa pembagian bid’ah
kepada hasannah dan sayyi’ah itu tidak datang dari syari’ – penetap syariat
(Nabi Muhammad Saw), kami tegaskan bahwa pendapat – yang mesti ditolak – yang
menegaskan ”pembagian bid’ah kepada bid’ah diniyyah – menjadi hasanah dan
sayyi’ah tidak diterima, sedangkan pembagian bid’ah secara dunyawiyyah dapat
diterima” merupakan perbuatan bid’ah dan penemuan baru juga.
Nabi Muhammad Saw menegaskan: ”Setiap bid’ah. itu sesat –
atau kesesatan,”. Sabda Nabi Muhammad Saw itu begitu mutlak, tanpa syarat
apa-apa. Sementar itu, Anda berkata, ”Tidak! Setiap bid’ah itu sesat, secara
mutlak; tetapi bid’ah itu terbagi atas dua bagian, yaitu bid’ah diniyyah, yang
merupakan kesesatan, dan bid’ah dunyawiyyah, bid’ah dalam urusan duniawi yang
dibolehkan.”
Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menjelaskan suatu
problema yang sangat penting dalam hubungannya dengan masalah bid’ah ini.
Dengan cara ini, semoga segala yang musykil dan sulit itu akan terpecahkan, dan
keraguan pun akan sirna, insya Allah.
Berkenaan dengan masalah tersebut, ketahuilah bahwa yang
berbicara mengenai bid’ah itu adalah syari’ penetap syariat, yakni Nabi
Muhammad Saw, yang bijaksana. Lidahnya adalah lidah syara’. Maka diperlukan
pemahaman terhadap pembicaraannya menurut timbangan syara’ yang dibawana. Jika
telah Anda ketahui bahwa bid’ah menurut definisi asalnya adalah setiap yang
baru dan inovasi yang tidak ada contohnya, jangan Anda lupakan bahwa penambahan
– yakni penemuan baru yang tercela – dalam konteks (bid’ah) ini adalah adanya
penambahan dalam urusan agama supaya menjadi urusan agama, dan penambahan da1am
masalah syariat supaya menjadi suatu bentuk syariat, sehingga menjadi suatu
syariat yang diikuti – oleh umat Islam– dan disandarkan pada pemilik syariat
(Nabi Muhammad Saw). Yang demikian itulah yang diperingatkan oleh Rasulullah
Saw untuk dihindari, melalui sabdanya:
Siapa yang menambah-nambah dalam urusan agama kami ini yang bukan
darinya, maka perbuatan itu ditolak.
Jadi, batasan intinya – dalam konteks bid’ah – itu adalah fii
amrina hadza, ”dalam urusan agama kami ini”. Atas dasar itu, sebetulnya
pembagian bid’ah menjadi bid’a.h hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu – dalam
pemahaman kami – hanyalah pembagian bid’ah secara etimologis atau lughawiy. Ia
sebetulnya hanya sekadar penemuan dan penambahan yang baru (ikhtira’ dan
ihdats). Kita tidak ragu bahwa bid’ah dalam pengertian syara’ adalah sesuatu
yang menyesatkan dan fitnah yang tercela, ditolak, dan dimurkai. Kalau saja
mereka – yang mengingkari pendapat kami – dapat mernahami makna seperti ini,
akan jelaslah bagi mereka adanya titik temu pengompromian berbagai pendapat,
sedangkan unsur-unsur pertentangan tampak begitu jauh.
Dan untuk lebih mendekatkan berbagai pendapat, saya
berpandangan bahwa sesungguhnya orang yang mengingkari adanya pembagian atau
klasifikasi bid’ah itu, hanya mengingkari pembagian bid’ah syar’iyyah, dengan
alasan mereka membagi bid’ah menjadi bid’a.h diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah.
Mereka bahkan memandang pembagian tersehut sebagai sesuatu yang terpaksa harus
mereka akui dan lakukan.
Sementara itu orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyi’ah berendapat bahwa pembagian itu hanya berdasarkan
pertimbangan bid’ah secara etimologis atau kebahasaan, karena mereka
mengatakan: ”Sesungguhnya penambahan – suatu ibadah – dalam agama dan syariat
Islam itu merupakan kesesatan dan dosa besar.” Mereka meyakini hal itu. Dengan
demikian, perbedaan yang terjadi antar umat Islam berkenaan dengan problematika
bid’ah itu hanya dalam wujud syakl atau bentuk. Namun, saudara-saudara
kita yang mengingkari pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah, lalu
mengatakan bahwa bid’ah terbagi kepada diniyyah dan dunyawiyyah itu tidak
cermat dan tidak teliti dalam mengungkapkan apa yang mereka pahami dan yakini.
ketika mereka menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan agama itu menyesatkan – dan
itu jelas benarnya – lalu mereka berkeyakinan, bahkan menetapkan, bahwa bid’ah
dalam urusan duniawi tidak apa-apa, sebetulnya mereka telah melakukan kesalahan
dalam menetapkan hukum. Sebab, dengan definisi atau klasifikasi mengenai bid’ah
yang mereka kemukakan itu berarti setiap bid’ah – atau hal-hal baru – dalam
urusan duniawi itu (pasti) dibolehkan. Tentu saja hal itu sangat membahayakan.
Perkataan mereka itu jelas mengandung fitnah dan bencana atau musibah besar.
Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini, diperlukan adanya
rincian yang jelas mengenai problematika per-bid’ah-an itu. Hendaklah mereka
mengatakan: ”Bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik dan ada pula yang buruk
- sebagai mana kita saksikan secara nyata – yang tidak akan diingkari oleh
siapa pun kecuali oleh orang yang sangat buta dan bodoh.”
Penambahan penjelasan semacani itu tampaknya sangat
diperlukan. Untuk memenuhi pemahaman seperti itu, agaknya cukuplah mengikuti
pendapat orang yang mengatakan: ”Bid’ah itu terhagi kepada hasanah dan
sayyi’ah”. Dan, seperti diketahui bersama, pembagian itu hanya dari sisi
kebahasaan alau lughawiyah (etimologis) belaka; atau yang menurut mereka yang
mengingkarinya diyakini sebagai bid’ah dunyawiyyah. Agaknya, seperti itulah
pendapat yang sangat hati-hati dan benar. Pendapat (terakhir) ini menghendaki
sikap hati-hati dalam mengapresiasi dan merespons setiap urusan (duniawi) yang
baru, juga menyelaraskannya dengan hukum syariat Islam dan kaidah-kaidah agama.
Pendapat itu juga mengharuskan umat Islam menyesuaikan dan menimbang setiap hal
duniawi yang baru - yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus – dengan
syariat Islam. Dengan cara demikian, akan terlihat dengan jelas bagaimana peran
hukum Islam berkenaan dengan hal-hal duniawi yang baru tersebut – betapa pun
karakteristik bid’ah-nya. Makna dan pemahaman bid’ah yang seperti itu tidak
dapat terpenuhi kecuali melalui pembagian atau klasifikasi yang bagus dan dapat
dipertanggungjawabkan dari para imam ushul (fiqh). Semoga Allah SWT melimpahkan
keridaan-Nya kepada para ulama ushul fiqh yang telah merumuskan dan menuliskan
kata-kata yang valid, shahih, yang komprehensif atau sempurna, dan memenuhi
tuntutan makna yang benar, tanpa ada kekurangan dan penyimpangan, serta tanpa
takwil.
Wallohu a`lam bi shawab.
Semoga bermanfaat.........
0 komentar:
Posting Komentar