Masalah
rumah tangga memang tidak pernah habis di kupas, baik di media cetak, radio,
layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. “Dari soal pelecehan seksual,
selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis
istri.” Ujar seorang konsultan spiritual di Jakarta.
Kebetulan,
teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan usia, plus
karir istri yang menanjak, kehidupa perkawinannya malah mengarah adem. Seperti
ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan keceriaan yang dulu dipunya
keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah disibukkan urusan kantor.
‘Apa yang
harus aku lakukan,” ungkapan pria ini. Konsultasi spiritual itu menyarankan
agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib shalat tahajud dan sujud
shalat syukur. “Coba lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, Insya Allah
masalahanya terang. Setelah itu, kamu ajak omong istrimu di rumah.” Ia
menyarankan.
Oke. Sebuah
saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya.
“Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran,” katanya. Istriny tidak
keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus kehambaran rumah
tangganya.
Benar saja.
Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan cintanya. Ia
punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya kaget. Mukanya
seakan ditampar. Makanan lezat di depanya tidak di sentuh. Mulutnya seakan
terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi menerima pengakuan dosa” itu.
Pantas saja
dia selalu beralasan capek, malas, atau tidak bergairah jika disentuh. Pantas
saja, suatu malam istrinya pura-pura tidur sembari mendekap handphone, padahal
alat itu masih menampakkan sinyal—pertanda habis dipakai berhubungan dengan
seseorang. Itu pula, yang antara lain melahirkan kebohongan demi kebohongan.
Tanpa
diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini. Keterusterangan
itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau bahkan, lebih pahit dari itu.
Hti pria ini seakan menuntut, “Kalau saja aku tidak menuntut nasihatmu, tentu
masalahnya tidak separah ini.”
Si konsultan
yang dituding, “Ikut menjebloskan dalam duka.” Meng-kick balik. “Bukankah sudah
saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di rumah, bukan di restoran?” Buat
orang awam, restoran dan rumah sekedar tempat. Tidak lebih. Tapi, dimata si
paranormal, tempat membawa “takdir”tersendiri.
Dan itulah
yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah mencatatkan
sejarah tersendiri. Maka jalan terbaik menyikapinya adalah seperti dikatakan
orang bijak, “Jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari satu sisi saja.”
Kayu telah
menjadi arang. Kita tidak boleh melarikan diri dari kenyataan, sekalipun pahit.
Kepalsuan dan kebohongan tadi bisa jadi merupakan bagian dari perilaku kita
jua. “Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung jawab penuh atas diri kita
sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita pula yang harus meyelesaikannya.”
Kata orang bijak.
Pahit getir,
manis asam, asin hambar, itu sebuah resiko. Memang kiat hidup itu tak lain
adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan.
0 komentar:
Posting Komentar