بسم الله الرحمن
الرحيم
Terlanjur
cerdas ? Cerdas koq bisa terlanjur ? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya
cerdas ? Apalagi kata “terlanjur” konotasinya jelek . -suatu yang tidak
diharapkan-, seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi
bubur,
Anak cerdas,
siapa tak mau ? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan
dasar bagi segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang
mutlak dimiliki setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih
dari sebentuk kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar
mampu berpikir logis , menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.
Bahkan
sekalipun kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola
perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang
lain melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional
Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi
mengimbangi kecerdasan intelektual !
Bahkan
sekalipun kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan
makna kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi
-yang menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall-
berupa kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan
kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus !
Latih Mereka
Menjadi Orang yang Amanah
Sesungguhnya
amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur, menepati janji, dan
tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk tanggung-jawab pada setiap
pribadi -sebagai apapun dia-. Karena jujur dan bersifat amanah adalah awal dan
modal dasar bagi seseorang di dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengemban inilah
ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
(Sesungguhnya,
telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan mengkhianatinya. Dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh) (Al Ahzab: 72)
Melalui ayat
di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa keta’atan dan kejujuran- adalah sesuatu
yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada manusia, namun manusia
menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Karena itu ALLAH Subhaanahu wa
ta’alla mencap manusia sebagai makhluq yang zalim dan bodoh. Artinya,
menyepelekan perkara amanah merupakan satu di antara bentuk kezaliman. Dan
seorang yang tidak amanah hanya mungkin cerdas dalam pandangan manusia, namun
tidak dalam pandangan ALLAH.
Maka apa
jadinya kecerdasan itu jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sifat amanah.
Bukankah kezaliman yang ditimbulkannya akan menjadi berlipat ganda dibanding
apabila tak disertai kecerdasan. Dengan kepandaian berbicara serta mengelola
mimik dan tingkah laku secara meyakinkan -sebagaimana pemain sandiwara-, si
cerdas tadi mengelabui manusia, menciptakan berjuta alasan untuk mengingkari
janji, dan mengkhianati kepercayaan manusia kepadanya. Semua itu dengan modal
kecerdasan.
Maka
hendaknya sejak dini pendidikan harus mengutamakan perkara ini. Arti jujur dan
amanah sudah harus diperkenalkan sejak pertama kali anak bisa diberi sedikit
pengertian, Segala upaya dan sarana yang dapat menanamkan kejujuran dan
menumbuhkan sifat amanah harus diciptakan. Dan segala suasana dan sarana yang
dapat menghantarkan kepada sifat-sifat bohong, mungkir, dan khianat harus
dihilangkan dari segala media pendidikan.
Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
Dari Abu
Hurairah -radhiallahu anhu- , dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
bersabada: “Tanda kemunafiqan itu tiga. Jika bicara, dusta. Jika berjanji,
ingkar. Jika diamanahi, khianat.” (HR; Al Bukhari)
Melalui
Hadits di atas nampak bahwa dusta, ingkar janji, dan khianat berasal dari akar
sifat yang sama, yakni munafiq..Karena itu, jika kita mengajari anak berdusta,
mengingkari janji, dan mengkhianati amanah, artinya kita telah menanamkan
sifat-sifat munafiq pada anak.
Tentu saja
tak ada orangtua yang menginginkan anaknya jadi orang munafiq. Tak ada orangtua
-yang sehat- merasa atau mengaku telah mengajari anaknya berdusta, terbiasa
mengingkari janji, atau mengkhianati amanah. Tentu saja kita semua tidak merasa
telah berbuat seperti itu.
Tetapi
kenapa dongeng-dongeng khayali yang kita jejali ke telinga mereka sebagai
pengantar tidurnya ? Kenapa kita biarkan mereka membaca cerita-cerita fiktif
sejak pertama sekali mereka bisa membaca ? Kenapa sandiwara dan sinetron kita
biarkan menjadi konsumsi mereka sehari-hari ? Apalagi kalau disertai harapan
dapat mengambil pelajaran atau hikmah darinya -seperti kebanyakan orang yang
menganggap film atau sandiwara bisa jadi media da’wah. Bukankah itu semua dusta
? Kalau tidak dusta dari sisi cerita, dusta dari sisi peran. Bagaimana mungkin
kita mengajarkan nilai kejujuran lewat cara-cara dusta ?
Selain itu,
mungkin kita sering mengingkari apa yang kita janjikan kepada anak kita Beli
sepeda baru, berlibur ke rumah nenek, atau tamasya ke pantai, yang berulang
kali janji tersebut harus kita perbaharui sambil tak lupa mengumbar macam-macam
alasan. Menyuruh anak -berbohong- menjawab telepon atau mengatakan kepada tamu
di depan rumah , “Papa tidak ada!“, Atau kita pernah ancam mereka, “Awas,
jangan kasih tahu Mama!“
Sungguh
ternyata kita sendiri lah yang telah membuat anak-anak terbiasa dengan dusta.
Ya, ternyata kita sendiri yang menginginkan -tanpa kita sadari- mereka jadi
orang munafiq. Ternyata kita sendiri yang mengajari -tanpa kita sadari- mereka
suka mengingkari janji dan mengkhianati amanah.
Maka
tindakan yang harus ditempuh untuk mencetak anak-anak yang jujur dan amanah
adalah meninggalkan cara-cara atau kebiasaan di atas. Selain itu perlu ditempuh
upaya-upaya berupa latihan dan pembiasaan guna menanamkan sifat jujur, menepati
janji, dan menjaga amanah. Anak perlu dilatih mengemban amanah-amanah yang
mampu ia pertanggungjawabkan. Beri kesempatan mereka berjanji dan ajarkan serta
mudahkan agar mereka mampu menunaikannya. Berikan sanksi -walaupun ringan- atas
pelanggaran janjinya. Ajarkan mereka bersikap jujur serta ceritakan kepada
mereka keutamaan bersikap jujur, tetapi bukan melalui dongeng atau cerita
fiktif. Sebab -ingat sekali lagi- mustahil menanamkan kejujuran melalui
kedustaan. Sampaikan kepada mereka kisah-kisah orang jujur serta buah dari
kejujuran, seperti kisah Ka’ab bin Malik -radhiallahu anhu-.
Ya, sebelum
anak terlanjur cerdas, hendaknya kita tanamkan pada diri mereka kecenderungan
kepada sifat jujur dan menjaga amanah. Sebab, apalah artinya kecerdasan tanpa
kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi
orang yang pandai menipu.
Biasakan
Mereka Bersikap Santun
Manusia
adalah makhluq bermasyarakat yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain.
Sopan-santun merupakan sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan
hangat di dalam pergaulan bermasyarakat. Juga merupakan di antara sifat yang
disukai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah
berkata kepada Abdul Qais -radhiallahu anhu- :
“Sesungguhnya
pada dirimu ada dua sifat yang dicintai ALLAH. Santun dan berhati-hati.” (HR;
Muslim)
Sopan-santun
adalah sifat yang membuat pemiliknya disukai oleh orang lain, yang dengannya
orang lain merasa aman dari lisan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- :
“Muslim
(-yang sempurna-) adalah yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan
tangannya.” (HR: Al Bukhari)
Betapa
tidak, dengannya ia akan menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak mengganggu
atau menyakiti orang lain. Dengannya pula ia bisa menempatkan diri di tengah
lingkungannya. Ia mampu bersikap secara tepat di hadapan orang yang lebih tua,
orang yang lebih muda, bahkan di hadapan orang-orang selayaknya dia belajar
kepadanya. Dan ini merupakan satu di antara tanda-tanda pengikut Muhammad
-Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:
عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا
Dari Ubadah
ibn Ash-Shaamit, bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
“Tidaklah termasuk umatku, mereka yang tidak hormat kepada orang-orang tua
kami, tidak sayang kepada orang-orang muda kami, dan tidak mengakui ulama-ulama
kami.” (Mustadrak Al Hakim)
Lebih dari
itu, santun juga merupakan wujud dari kelembutan hati pemiliknya. Karena
mustahil seseorang bersikap santun jika tidak memiliki kelembutan hati.
Kelembutan hati lah yang menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati ketika
bersikap di hadapan orang lain. Dan ini merupakan sifat yang disukai ALLAH
-Subhaanahu wa ta’alaa- , sebagaimana yang dikatakan Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- kepada Aisyah -radhiallahu anha-:
يا عائشة، إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله
( متفق عليه)
“Ya, Aisyah.
Sesungguhnya ALLAH bersifat Lemah-Lembut, menyukai kelemahlembutan di dalam
segala perkara.” (Muttafaqun Alaih)
Disebabkan
santun dan lemah lembut lah akan terjaga persahabatan, bahkan ukhuwah
(persaudaraan) dan terlaksana tolong-menolong -”ta’awun alal birri wat taqwa“-
, yang mustahil semua itu terjadi tanpa dilandasi sifat-sifat di atas. Yakni
sifat yang dapat memperindah dan mempercantik seseorang. Sifat yang membuat
sebuah pribadi laku di dalam pergaulan. Sifat yang dengannya ia tidak hanya
memikirkan dirinya semata, bahkan senatiasa berupaya sekuat tenaga memberikan
kebaikan kapada saudaranya sebagaimana ia harapkan kebaikan itu juga berlaku
baginya. Lebih dari itu, dengan sifat tersebut ia mampu memiliki empati
terhadap penderitaan saudaranya. Perhatikanlah sabda Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- di bawah ini:
عن أناس بن مالك عن النبي صلىالله عليه وسلم قال:
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب
لنفسه
“Tidak
sempurna iman kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya.” (HR: Al Bukhari – Muslim)
عن النعمان بن بشير. قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد
إذا اشتكى منه عضو، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
Dari
An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu anhu-, berkata, telah bersabda Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- :“Perumpamaan orang-orang mu’min di dalam cinta
kasih sayangnya dan keterikatannya seperti jasad yang satu. Apabila sakit salah
satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakitnya dengan
panas dan demam.” (HR: Muslim)
Dengan
demikian, segala upaya -sarana dan metode apa saja- yang dapat menumbuhkan
sifat mulia ini harus ditempuh. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk
menumbuhkan sifat-sifat sopan-santun dan lemah-lembut. Orang tua harus
memastikan sifat-sifat ini melekat pada anaknya sebelum anaknya terlanjur
cerdas. Do’a, dzikir, shadaqah, menyantuni anak yatim, gotong-royong, atau
menolong orang yang kesusahan adalah di antara hal yang dapat melembutkan hati.
Kemudian,
hendaknya sejak kecil anak dibimbing bagaimana cara bertutur, duduk, bahkan
berjalan di hadapan orang yang lebih tua. Juga bagaimana di hadapan orang yang
lebih muda. Kesantunan dan sikap rendah hati mereka juga harus kita perhatikan
manakala mereka berjalan dan mengeluarkan suara. Perhatikanlah wasiat Luqman
kepada anaknya -sebagaimana yang diabadikan di dalam Al Qur’an- :
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ
أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
(Artinya:
“Dan sederhanalah di dalam berjalan serta rendahkan suaramu. Karena
seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”) (Luqman: 19)
Di samping
itu, apa saja yang dapat menumbuhkan sifat-sifat sebaliknya, seperti
kurang-ajar, tak tahu malu, atau beringas harus dihilangkan dari segala media
pendidikan dan pemandangan mereka sehari-hari. Perhatikanlah peringatan Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- akan hal ini:
“Ya,
A’isyah. Berlemahlembutlah. Karena sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada
pada sesuatu kecuali ia menjadi penghiasnya. Dan tidaklah kelembutan tercabut
dari sesuatu kecuali ia menjadikan sesuatu itu jelek.”
Pada
kesempatan lain:
“Siapa yang
terhalang untuk bersikap lembut, maka terhalang pula baginya kebaikan.”
Maka untuk
itu, jauhkan dari anak penampilan sifat-sifat yang tidak baik, seperti kasar,
brutal, sadis, vulgarisme, dan sikap tak punya malu, mulai dari bacaan,
tontonan, maupun bentuk-bentuk permainan dan lingkungan pergaulan mereka. Yang
kesemua itu lambat laun akan membentuk keperibadiannya. Orangtua harus
memastikan tanda-tanda dari sifat-sifat yang tidak baik ini tak ada pada
anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas.
Ya, sebelum
anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terbiasa bersikap santun dan
lemah lembut. Sebab apalah artinya kecerdasan jika tidak dibarengi dengan
pekerti santun dan lembut hati, bahkan sekalipun anak tersebut jujur. Bukankah
kita tak menghendaki mereka menjadi robot; cerdas, jujur, kaku, dingin, dan
berpotensi menjadi sadis!!!
Didik Mereka
untuk Rajin
Rajin
merupakan satu sifat yang sangat dipuji dalam Islam. Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- di dalam berbagai ungkapan menjelaskan akan keutamaannya . Di
antara lain ucapannya -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah:
Dari Abu
Hurairah -radhiallahu anhu-, berkata: Aku telah mendangar Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sungguh seorang di antara kalian
berangkat ke luar mengikat kayu di atas punggungnya dan bersedakah dengannya
serta menjaga diri dari manusia itu lebih baik dari pada meminta-minta, diberi
ataupun tidak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas lebih utama dari pada
tangan yang di bawah. Dan mulailah dari yang menjadi tanggunganmu.” (HR:
Muslim)
عن أبي هريرة قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
كان داود لا يأكل إلا من عمل يده
“Sesungguhnya
Daud -Alaihissalaam- tidak makan kecuali dari hasil karya tangannya” (HR:
Bukhari)
Ungkapan di
atas -dan masih banyak lagi yang sema’na- menunjukkan betapa sifat rajin sangat
ditekankan di dalam Islam. Syari’at diadakan tidak lain untuk memelihara lima
hal. Memelihara agama, aqal, kehormatan, darah, dan harta. Dan rajin merupakan
di antara sifat yang harus dimiliki demi menjaga kehormatan diri. Dengan sifat
rajin pulalah seorang menjadi pribadi yang berguna bagi diri dan sekitarnya,
bukan menjadi cela bagi diri dan beban bagi orang di sekitarnya.
Maka hendaknya
segala sarana dan metode yang dapat menumbuhkan sifat rajin pada anak harus
diupayakan. Melatih anak untuk bangun pagi, merapihkan kamar tidur,
membersihkan kamar mandi, menyapu ruangan, teras, dan halaman, semua itu
merupakan upaya pertama yang harus dilakukan untuk membiasakan anak bekerja dan
menumbuhkan sifat rajin. Ketika sampai usia belajar, maka hendaknya dahulukan
mengajar mereka menulis sebelum membaca. Biarkan anak belajar membaca dari apa
yang dia tulis, karena menulis itu sifatnya aktif sedang membaca pasif.
Perhatikan perkembangan kemampuan psikomotorik-nya untuk mengimbangi kemampuan
kognitif-nya. Ajarkan pula mereka, misalnya, terbiasa mengolah barang-barang
bekas sebelum mengambil keputusan untuk membeli yang baru.
Sebaliknya,
segala penyebab, sarana, dan metode yang dapat menumbuhkan sifat malas pada
anak harus ditiadakan atau dijauhkan dari anak. Malas -selain produk sistim
sosial- asalnya adalah masalah fisik -seperti terlalu lemahnya tubuh untuk
bergerak atau melakukan satu pekerjaan- . Namun jika tidak segera diambil
tindakan ia berubah menjadi masalah mental. Karenanya, orang tua harus
memperhatikan pertumbuhan fisik anak dan perkembangan motorik atau
keterampilannya. Sudahkah gizi yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya tercukupi ?Apakah
ia terlalu kurus atau gemuk untuk umurnya ? Proporsionalkah berat badan dengan
tingginya ? Apakah ia sudah bisa menjaga keseimbangan tubuhnya ? Cukup
lincahkah gerakannya ? Bagaimana akurasi gerak atau bidikannya? Bagaimana
kecepatan geraknya ? Bagaimana kekuatan tenaganya ? Bagaimana ketahanan
tubuhnya, baik ketika menahan beban maupun ketika menahan lelah ? Keseluruhan
masalah di atas -meski tidak selalu- sedikit banyak berpengaruh terhadap
mentalnya.
Ulangi
sering-sering sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- berikut ini:
"Mu’min yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai ALLAH ketimbang mu’min yang lemah. Dan pada
seluruhnya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah di dalam hal yang mendatangkan
manfa’at bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada ALLAH dan jangan merasa
lemah…. " (HR; Muslim)
Karenanya,
segala bentuk kamuflase, dari kemalasan -ngamen misalnya-, atau main kartu,
dadu, dan segala bentuk permainan yang menghabiskan waktu tidak boleh kita
biarkan dilihat oleh anak kita kecuali kita jelaskan kepada mereka, “Itu orang
malas! Itu pekerjaan orang malas !” Karena sesungguhnya, melalui kamufalse
kemalasan yang sering mereka lihat lah kemalasan -sadar atau tidak disadari-
menemukan pembenaran teorits, bahkan filosofisnya, Dan sifat licik merupakan
hasil kombinasi cerdas dengan malas.
Kemudian,
jangan dikira bahwa malas itu sekedar masalah mental. Malas juga bisa menjadi
masalah keyakinan. Sebagaimana hasad (dengki) mengurangi kesempurnaan iman akan
Taqdir, begitu pula dengan malas. Ketahuilah, bahwa sifat rajin akan
menumbuhkan optimisme, dan optimisme adalah bagian dari wujud husnudz-dzonn
billah (berbaik sangka kepada ALLAH). Maka, sebaliknya, malas akan menumbuhkan
pesimisme, dan pesimisme adalah bagian dari wujud su’udz-dzon billah (berburuk
sangka kepada ALLAH). Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah
berwasiat::
“لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل“.
“Jangan kalian
mati, kecuali di dalam keadaan berbaik sangka kepada ALLAH.” (HR:Muslim dari
Jabir bin Abdillah -radhiallahu anhu-)
Lebih dari
itu, malas pulalah di antara -selain ilmu dan keyakinan- yang menyebabkan
manusia -karena ingin menempuh jalan pintas- terjerumus ke dalam judi, lottre,
bahkan ke dalam berbagai bentuk kesyirikan, seperti meminta kekayaan kepada
kuburan, pohon, atau benda mati lainnya.
Ya, sebelum
anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka sudah terbiasa hidup rajin. Sebab,
apalah jadinya jika anak terlanjur cerdas, sementara ia terbiasa dikuasai
perasaan malasnya. Bukankah kita tidak menghandaki mereka menjadi orang yang
licik.
Bina Mereka
Menjadi Pribadi yang Kuat
Badan yang
kuat lebih berdaya guna ketimbang badan yang lemah. Dengan kekuatan bukan saja
seseorang mampu menopang dirinya, bahkan mampu menolong orang lain. Dengan
kekuatan seseorang mampu berlari dan melompat. Dengan kekuatan seseorang mampu
memanggul beban di punggungnya atau bertahan melawan dorongan arus. Dengan
kekuatan pulalah seseorang mampu menghadapi cuaca buruk dan memiliki kekebalan
untuk melawan penyakit.
Maka
demikian pula jiwa yang kuat. Islam memuji sifat kuat dan mengaitkannya dengan
sabar. Kuat, sabar, atau tabah merupakan modal di dalam mengarungi kehidupan
-yang memerlukan perjuangan dan penuh dengan cobaan-. Dengannya ia lebih
berdaya guna, bermanfaat bagi orang lain, bersemangat dan kreatif, mampu
memikul tanggung jawab dan berpendirian, serta mampu beradaptasi dan
menetralisir perasaan dirinya. Karenanya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- mengajari kita memaknai kekuatan dengan kesabaran dan kemampuan
mengendalikan hawa nafsu, sebagaimana sabdanya:
:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : عن أبي هريرة رضي الله عنه
ليس الشديد بالصرعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند
الغضب. ( البخاري ) .
Dari Abu
Hurairah -radhiallahu anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam telah bersabda: “Bukanlah yang dikatakan kuat itu jago gulat. Akan
tetapi yang dikatakan kuat adalah yang mampu menguasai hawa-nafsunya ketika
marah.” (HR: Al Bukhari)
Ya, dengan
kesabaran akan lahir berbagai macam kebaikan. Manusia menjadi semakin kuat
kemauannya, semakin tegar menghadapi tantangan, serta semakin tenang menghadapi
ujian dan cobaan. Maka, upaya dan metode apa saja yang dapat melahirkan serta
menumbuhkan kepribadian yang kuat dan sabar harus diciptakan. Perkara kuat dan
sabar sudah harus mulai diajarkan ma’nanya dan ditanamkan kepada anak sedini
mungkin. Pendidikan harus menjadikannya sebagai program dasar pembinaan sebelum
yang lainnya. Perhatikan bagaimana Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
mengajarkan beberapa kalimat kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- , yang ketika
itu usianya belum mencapai sepuluh tahun:
“….Ketahuilah.
Bahwa seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan manfa’at kepadamu,
mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan bagimu.
Dan seandainya mereka bersatu ingin mencelakakanmu, mereka tak akan mampu
melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan atas mu….” (HR: At-Tirmidzi
dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu-)
“…Ketahuilah.
Bahwa pertolongan ALLAH datang melalui kesabaran, bersama perjuangan ada
pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan…”
Sebaliknya,
segala sarana dan metode yang akan membentuk kepribadian cengeng, mudah marah,
mudah patah semangat, dan mudah putus asa harus dihilangkan dari media
pendidikan kita. Karena sesungguhnya seluruh sifat-sifat tersebut bersumber
dari yang satu, lemah. Anak yang gampang menangis sebetulnya sama dengan anak
yang gampang marah. Kemasannya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama,
lemahnya jiwa. Maka, jangan biarkan anak kita mengkonsumsi hal-hal yang
melemahkan jiwanya, berupa sya’ir atau lagu-lagu cengeng, serta novel atau
film-film picisan. Jangan biarkan anak terbiasa memanjakan perasaannya.
Ajarkan
kepada mereka nilai-nilai kesatriaan, kesabaran dan ketangguhan yang diambil
dari kisah para Nabi -alaihimussallam-, para Sahabat Nabi -radhiallahu anhum-,
atau para Ulama dan Mujahid -rahimahumullah-, dan jangan sekali-kali lewat
dongeng atau cerita fiktif. Jangan berlebihan memberikan perlindungan pada
mereka. Biarkan mereka melatih diri menyelesaikan persoalan-persoalan mereka,
baik di dalam menghadapi tantangan masalah, maupun terhadap teman-teman
sebayanya. Jangan terlalu cepat memenuhi permintaan mereka, seandainya tidak
mendesak. Jika mereka minta 10, berikan 5. Jika mereka minta sekarang, berikan
nanti. Ajari mereka bersabar manakala tidak terpenuhi permintaannya. Atau masih
banyak lagi cara dan kesempatan untuk melatih kesabaran dan kekuatan mereka.
Ya, sebelum
anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terlatih bersabar serta memiliki
jiwa yang kuat. Lemah akan menjadikan mereka mudah dipengaruhi orang serta
gampang lari dari tanggung jawab. Apalah artinya kecerdasan jika tidak diiringi
sifat kuat dan sabar. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang
yang pengecut, karena ternyata pengecut itu merupakan kombinasi cerdas dengan
lemah.
Ya, apalah
artinya cerdas tanpa amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak
menginginkan anak kita menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.
Secercah Mutiara
"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (profesional dan ahli). Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka ia serupa dengan seorang Mujahid dijalan Allah."
Penulis: Abu
Khaulah Zainal Abidin
0 komentar:
Posting Komentar