Islam
sangat meghargai terhadap setiap hal yang mendorong perbuatan baik,
tujuan yang mulia, dan niat yang baik dalam diri seorang muslim. Oleh
sebab itu, keabsahan dari setiap perbuatan terlebih dalam perkara ibadah
diukur dengan niatnya. Jika niatnya baik, maka dia akan memperoleh
hasil yang baik pula. Dan jika niatnya buruk atau salah, maka kejelekan
atau kebatalanlah yang akan diperoleh. Berkenaan dengan hal tersebut
Rasulullah bersabada:
انَِّمَا اَلْاَعْمَالُ بِاالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
“Sesungguhnya
semua amal harus disertai dengan niat (ikhlas karena Allah) dan setiap
orang hanya akan mendapatkan apa yang sesuai dengan niatnya”.
Lingkup
hadits di atas mencakup terhadap urusan ibadah dan lainnya. Dengan
demikian, ibadah akan dinilai sah oleh Syari’ manakala di dalamnya
terdapat niat. Sedangkan selain ibadah akan bernilai ibadah jika
diniatkan dengan niat yang baik.
Dengan
niat yang baik, kebiasaan dan perbuatan yang mubah akan bernilai
ibadah, dan sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri (taqarrrub)
kepada Allah. Makan dan minum misalnya. Jika makan dan minum
dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup dan agar memperoleh
kekuatan dalam beribadah, maka makan dan minum tersebut akan diganjar
oleh Allah SWT. Begitu pula pada perbuatan-perbuatan mubah yang lain.
Seorang
muslim sejati tentu tidak akan berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat
bagi dirinya. Karena dia merasa hembusan nafas yang senantiasa ia
hembuskan akan terasa sia-sia, jika tidak digunakan sebaik mungkin.
Salah satu cara yang jitu untuk memperbanyak kebaikan, mereka selalu
berniat dalam setiap hal. Sebagaimana hadits Nabi saw.:
“Niat
seorang mukmin lebih baik dari pada perbuatannya, karena didalam niat
tidak terdapat kerusakan, sedangkan dalam perbuatan masih terdapat
kerusakan”.
Betapa
pentingnya niat seseorang dalam setiap perbuatannya, sehingga nabi
bersabda demikian, “niat mukmin lebih baik dari pada perbuatannya”,
Hadits ini memberi pemahaman bahwa niat seseorang lebih baik dari pada
perbuatnnya, namun bukan lantas berniat saja tanpa diiringi dengan
perbuatan. Akan tetapi, niat yang disertai dengan perbuatan, atau niat
yang tidak disertai dengan perbuatan namun dia benar-benar bertekad
untuk melakukan perbuatan tersebut, hanya saja terdapat suatu penghambat
yang menyebabkan dia tidak berbuat. Seperti orang yang ingin (berniat)
mendirikan shalat berjama’ah di masjid, dia mampu untuk melaksanakannya
dan ternyata dia benar-benar melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.
Atau dia tidak shalat berjama’ah di masjid lantaran dia sakit yang dapat
menghalangi untuk melaksakannya. Inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi
diatas. Bukan orang yang hanya ingin mendirikan shalat berjama’ah di
masjid tapi dia tidak pernah melaksanakan, padahal dia mampu untuk
melaksanakannya. Sebagaimana dalam hadis Nabi saw. yang artinya:
“Barang
siapa yang bertekad melakukan suatu kebaikan tapi tidak melakukannya,
maka dia mendapatknan satu pahala, jika mengerjakan maka mendapat
sepuluh sampai 700 pahala hingga berlipat ganda. Dan barang siapa yang
bertekad melakukan suatu kejelekan tapi dia tidak melakukan, maka dia
mendapat satu kebaikan, jika dia mengerjakan, maka ia mendapat satu
kejelekan.”
Hal
ini menunjukkan betapa tolerannya Allah kepada hambanya yang ingin
berbuat kebaikan, niatnya saja membuahkan pahala terlebih sampai
mengerjakan. Bukankah Malaikat Roqib akan mencatat 10 kebaikan dari
setiap kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim. Dan ketika seorang
muslim berbuat kejelekan Malaikat ‘Atid tidak langsung mencatatnya
dengan amal yang buruk akan tetapi, Malaikat penjaga tubuh bagian kiri
ini meminta pendapat kepada malaikat yang bertugas menjaga tubuh bagian
kanan dengan perkataannya, “akankah aku tulis perbuatan jelek hamba
ini” lalu malaikat Roqib menjawab “biarkan 7 jam kemudian, barang kali
ia sadar dan bertaubat. Jika tidak, maka tulislah” begitulah dialog dua
malaikat yang kita kenal dengan Malaikat Roqib dan Atid saat mencatat
kebaikan dan keburukan manusia. (Qotrul Ghoits. Hal. 4 )
Tentu,
setiap orang islam ingin dirinya menjadi ‘muslim sejati’, hanya saja
senandung kerikil dosa yang terkadang membuatnya jauh dari yang
diinginkan. Oleh karena itu, mulai sekarang kita harus melatih diri
untuk me-niat-kan semua apa yang kita kerjakan karena Allah SWT. Mungkin
dengan begitu dapat membantu terciptanya ‘jiwa muslim sejati’ dalam
diri kita. Amin…..
wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar