Harta
dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia (Ziinatu hayaatid dunya).
Keduanya sama-sama memberikan warna dalam kehidupan, baik itu
kesejahteraan maupun kebahagiaan dalam hati. Bahkan seringkali oang tua
sangat membangga-banggakan putra-putrinya yag cantik, gagah, pintar dan
cerdas. Kewajaran ini memang bukan berarti sebuah kesalahan, akan tetapi
apabila salah dalam memposisikan anak sebagai harta yang paling
dicintai ini sungguh sangat berbahaya. Sebagai orang tua, sungguhlah
sangat bersyukur dikaruniai putra putri yang shalih dan shalihah.
Lebih-lebih keshalihannya itu didukung dengan kepandaian yang luar
biasa. Berbagai prestasi ditorehkan selama perjalanan hidup, banyak
kejuaraan diraih dalam berbagai perlombaan dan lain sebagainya.
Namun perlu
diingat bahwa itu semua hanyalah perhiasan semata, kita tidak boleh sama
sekali lalai dengan kewajiban utama yaitu beramal shalih sebagai bekal
nanti. Karena amal yang baik itulah yang akan senantiasa kita harapkan
pahalanya kelak di akhirat. Anak tidak bisa dijadikan sebagai
ketergantungan orang tua akan keselamatan dirinya di hadapan Allah SWT,
anak bukanlah penyelamat yang ulung dan mampu menebus kesalahan dan dosa
orang tua. Bukankah kita masih teringat kisah Nabi Nuh a.s, bagaimana
sedihnya beliau saat putranya enggan naik ke dalam perahu saat banjir
besar. Putra seorang Nabi Allah, bahkan sampai tidak percaya kepada
orang tuanya sendiri. Ia memilih jalannya sendiri sehingga akhirnya
celaka dan jauh dari keselamatan. Seperti itulah posisi seorang anak di
samping orang tuanya.
Karena perhiasan
sekaligus amanah dari sang Maha Pencipta, maka sudah sepantasnya hamba
Allah menjaganya dengan baik dan penuh kepercayaan, tidak mendzalimi apa
yang diamanahkan lebih-lebih pada Dzat Yang Maha Suci, Sang Pencipta
alam semesta seisinya. Mendzalimi apa yang sudah dikaruniakan kepada
seorang manusia, berarti tidak cukup bersyukur kepada yang memberi.
Menyakiti apa yang sudah dianugerahkan kepada seorang hamba, berarti
menyakiti pula Dzat Yang Maha Pemurah. Karena Dia memberikan apa yang
kita butuhkan bahkan lebih dari kebutuhan kita, Dia senantiasa mencukupi
rejeki kita tanpa perhitungan. Sebagian hamba diberinya hanya sekedar
cukup untuk nafkah dirinya dan keluarga. Dan sebagian yang lain
diberikan rejeki yang berlimpah, sampai-sampai ia harus menyewa gedung
unuk menampung hartanya yang cukup banyak. Sungguh keberuntungan yang
besar, jika rejeki yang banyak itu dibarengi dengan keturunan yang
shalih dan shalihah. Alangkah bahagianya kelak di akhirat, mereka reuni
bersama anggota keluarganya; ayah kandung, ibu kandung, dan anak-anak
kandung keduanya. Mereka bercengkerama dalam sorga yang keindahanya
melebihi keindahan apapun di dunia ini. Dipan-dipan yang terbaik,
gelas-gelas yang bersinar dan minuman yang tidak memabukkan, menjadi
bagian dari hari-hari keluarga bahagia itu.
“Ya Allah,
semoga Engkau jadikan keluarga kami menjadi keluarga yang senantiasa
dekat dengan-Mu. Mendapatkan ridho-Mu dalam segala amal shalih kami, dan
senantiasa Kau anugerahkan ampunan pada kesalahan-kesalahan dan
dosa-dosa yang kami lakukan”.
Sederet doa ini
barangkali pernah kita lantunkan dalam keheningan malam, di kala
keluarga mendapatkan kesusahan atau kebahagiaan atas nikmat-nikmat-Nya.
Anak-anak dan harta yang berharga menjadi hiasan hidup yang sama sekali
bukan yang terpenting, melainkan semua itu adalah bonus dari Sang
Pemberi Rizki. Karena memang keduanya tidak bisa disamakan dengan amal
shalih seorang hamba. Amal shalih melebihi keduanya bila memang diterima
oleh Allah SWT. Alangkah bahagianya seseorang yang dikaruniai umur
panjang dan amal shalih yang banyak. Timbangan kebaikannya lebih banyak
daripada keburukannya, niscaya kelak akan datang kepadanya, sosok
malaikat Allah yang memberikan buku catatannya dari sebelah kanan dan
diterimanya dengan tangan kanan yang ikut tersenyum atas pemberian itu.
Lalu wajah hamba ini bersinar-sinar, berseri-seri dan cerah bagaikan
bulan purnama karena mendapatkan keberuntungan yang agung.
Oleh karenanya,
amal shalih yang dilakukan secara terus menerus setidaknya menjadi
tabungan kita di akhirat kelak dan bekal perjalanan menuju Allah SWT.
Betapa panjang dan jauh perjalanan kita untuk sampai pada Dzat yang Maha
Suci, berjumpa secara langsung di sorga-Nya bersama hamba-hamba shalih
lainnya. Perjalanan hidup kita, kalau mau dihitung sejak dalam kandungan
sampai masuk dalam liang lahat tidaklah cukup lama. Dalam kandungan 9
bulan ditambah, 60 – 70 (atau lebih) tahun di alam dunia. Setelah itu,
kita akan berjalan dengan menempuh perjalanan yang amat sangat jauh.
Waktu sekian puluh tahun tersebut adalah masa paten untuk kita
mengumpulkan bekal berupa amal shalih. Mau minta ke mana lagi tatkala
amal jariah kita sedikit? ilmu kita tidak banyak yang bermanfaat bagi
sesama, dan kita tidak bisa menjamin keturunan kita menjadi anak yang
shalih-shalihah semua? Pertanyaan ini mari kita renungkan dan pahami
bersama serta kita tindak lanjuti dalam pola hidup kita yang belum
teratur sesuai Al-Qur’an dan Hadits.
Sungguh kerugian
yang sebenar-benar kerugian yaitu seorang hamba yang rugi dunia dan
rugi akhiratnya. Banyak diantara kita mungkin pernah merasakan kerugian
yang besar di dunia ini, namun masih bisa tergantikan dengan yang lain.
Atau Allah menggantikan dengan sesuatu yang lebih besar manfaatnya.
Dikatakan bahwa “Rugi dunia tak jadi apa, Rugi akhirat bakal celaka”.
Rugi dunia saja kalau kita masih mau berhusnudzan (positif thinking),
sebenarnya bukanlah kerugian melainkan keberuntungan yang besar.
Dikatakan bahwa ada seorang kaya raya yang mengalami kerugian dalam
perusahaannya. Siang di tempat kerja, malam lembur. Paginya berangkat
lagi. Dan begitu seterusnya. Padahal anak-anaknya sudah menginjak usia
remaja dan dewasa.
Singkat cerita
salah satu anaknya terkena kasus narkoba dan berurusan dengan
kepolisian. Masalah pun kian menumpuk. Perusahaan bangkrut dan keluarga
berurusan dengan penegak hukum. Pada suatu malam, keluarga tersebut
menginstrospeksi diri (muhasabah) kenapa ujian mereka cukup berat. Dan
ditemukanlah beberapa kesimpulan dengan menggunakan kepala yang dingin.
Pertama, bapak sebagai kepala keluarga terlalu sibuk sendiri di
perusahaannya sehingga perhatian terhadap anak-anaknya kurang bahkan nol
besar. Kedua, ketidakmampuan seorang ibu yang mengurus putra-putrinya
sendirian karena memang perhatian kepada buah hati tdak cukup oleh
seorang ibu.
Setelah kejadian
ini, secara perlahan masalah dapat diselesaikan meski dengan
tertatih-tatih. Dan akhirnya mereka menyadari bahwa perhatian terhadap
amanah Allah tidak bisa dikesampingkan dengan seenaknya saja karena
mengejar dunia. Kerugian dunia keluarga tersebut tidaklah seberapa jika
dibandingkan dengan kerugian akhirat yang disebabkan oleh kesalahan
seorang hamba dalam membina rumah tangganya. Lalu apakah kita mengatakan
bahwa kerugian perusahaan keluarga tersebut merupakan kerugian yang
harus disesali? Mari kita renungkan bersama.
Demikianlah
Allah memberikan ujian dan cobaan pada hamba-hamba-Nya yang berupa
kebaikan dan keburukan. Suatu saat Dia memberikan banyak kebaikan dan
kenikmatan pada hamba-Nya seperti rumah bak istana, kendaraan yang
mewah, dan keluarga yang pandai dan cerdas. Namun semua itu perlu
disadari, bahwa kebaikan yang diterima merupakan salah satu ujian hidup.
Kategori ujian seperti ini sungguh banyak yang lalai dan kurang
menyadarinya. Selain itu yaitu ujian berupa keburukan yang berupa
kekurangan harta, kematian, kehilangan tempat tinggal karena bencana dan
lain sebagainya. Sungguh untuk ujian yang satu ini banyak hamba-Nya
yang mengeluh, tidak kuat dan ingkar terhadap kenikmatan-kenikmatan yang
pernah diterimanya. Terkait hal ini, Allah SWT telah berfirman dalam
Q.S Al Anbiya :36 yang artinya:
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada
kamilah kamu dikembalikan” (Author: Wawan Hariyanto, S.Pd.I)
0 komentar:
Posting Komentar