Hati adalah raja yang senantiasa meremote setiap gerak-gerik manusia. Di setiap detik hati akan selalu berdetak memberikan instruksi yang akan selalu di amini seluruh anggota badan. Sebagai kekuatan maha dahsyat yang dapat menyentak indera manusia untuk melakukan tindakannya, baik dan buruk. Jika segumpal daging ini bersih, niscaya seluruh perangkat tubuh akan menjadi baik. Tapi sebaliknya, apabila hati dilingkupi oleh kerat hitam, maka akan menyeret tubuh yang membungkusnya ke dalam kubangan yang ‘gelap’, penuh noda dan nista. Wajar bila Allah tidak pernah peduli kepada bentuk tubuh dan kemolekannya. Melainkan hanya memandang kepada hati yang ada di dalamnya. Karena itu, sungguh heran apabila seseorang mempermak tubuh seindah dan semolek mungkin agar tampak aduhai bila dipandang. Tapi lupa untuk mempercantik hatinya.
Sejak pertama kali manusia
mengenal dunia, Allah telah membekalinya dengan hati yang jernih, putih
dan bersih, bagai kertas putih tanpa coretan tinta noda sedikitpun.
Tetapi celaka, manusia telah merenggut kesuciannya, sehingga kertas yang
semula putih kini dipenuhi oleh coretan-coretan hitam, karena dosa-dosa
yang telah diperbuatnya. Hati nan suci itu kini tampak muram dan
kehilangan auranya, ia mengkristal dan keras sekali. Sarat dengan
penyakit. Dan membentuk kepribadian jiwa yang keras kepala dan enggan
menerima kebenaran. Dalam benaknya hanyalah nafsu keji. Syetan telah
bersarang dalam hatinya dan mengajak manusia ke lembah kesesatan.
Hal ini tidak boleh
dibiarkan terus-menerus. Karena akibatnya akan sangat fatal sekali,
manusia harus segera mencucinya dan mengembalikan pada fitrahnya yang
asli. Sehingga ‘tombol’ jiwa dan raga ini kembali jernih dan mampu
menuntun pemiliknya lebih dekat kepada penciptanya. Karena tidak mungkin
Tuhan yang maha suci mau menerima hati yang penuh dengan kerak noda
dari keping-keping dosa yang diperbuatnya. Bagaimana cara mencucinya?
Hati bukanlah benda kasar yang dapat di gosok untuk memudarkan
karat-karat yang melekat padanya. Karena itu, untuk membersihkannya
harus menggunakan alat yang halus pula. Yakni, melakukan polah tingkah
yang baik dan meninggalkan yang jelek. Ini bukan usaha yang remeh,
karena harus di upayakan secara konsisten dan tekun. Lalu cara apa yang
paling efektif untuk membersihkan hati yang kotor? Dan apa kiat-kiat
untuk melatih hati agar dapat sampai kepada Tuhan?
Sebenarnya hati yang
ternoda berawal dari rangkaian dosa-dosa yang telah diperbuat manusia.
Dosa-dosa tersebut memberikan efek negatif. Hati yang semula polos,
kemudian dipenuhi oleh goresan noktah-noktah hitam. Hal ini seperti yang
telah digambarkan dalam sabda Nabi:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا اَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ
سَوْدَآءُ فِى قَلْبِهِ, فَاِنْ تَابَ وَ نَزَعَ و َاسْتَغْفَرَ
صَقُلَ قَلْبُهُ, وَاِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى يَعْلُو َ قَلْبَهُ
ذَاكَ الرَّيْنُ.
Senada dengan hadits di atas firman Allah:
كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلى قُلُوْبِهِمْ مَاكَانُوْ يَكْسِبُوْنَ كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
Artinya:
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka
pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhan mereka” [QS. al-Mutathfifin, 13-14]
kehendak ayat tersebut
adalah dosa yang bertumpuk akan menuangkan tinta hitam dalam hati yang
pada akhirnya akan membentuk noktah hitam, matanya akan tertutup, tidak
akan perduli lagi terhadap penciptanya. Lupa dzikir dan terlempar jauh
sekali dari rabbul ‘alamin.
Mengomentari ayat di atas, Imam Mujahid berkata bahwa seseorang yang
melakukan perbuatan maksiat, hatinya akan terselimuti oleh bayangan
dosa. Tapi anehnya orang tersebut masih tetap saja berbuat dosa sehingga
seluruh hatinya tertutup rapat dengan kotoran dosa. Lebih dari itu,
perbuatan dosa akan menjadikan penghalang bagi manusia untuk menuju
Tuhan. Dengan demikian hati yang penuh dengan noda akan sulit
berinteraksi dengan Tuhan karena terhalangi oleh tabir tebal. Dari sini,
perlu sekali usaha untuk menyembuhkan hati yang penuh dengan penyakit.
Agar tujuan awal untuk membangun hubungan yang erat dengan Tuhan dapat
terealisasi (terwujud). [al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, XIX:259-262]
Al-Sayyid Ibrahim
al-Khawwas menawarkan resep untuk mengobati hati, seperti yang kerap
kali kita dengar dari lantunan pujian sebelum shalat, yaitu, 5 obat
penerang hati. Pertama, baca al-Qur’an sambil merenungkan
maknanya. Karena dengan membaca al-Qur’an hati akan menjadi lapang,
bersinar, dan menimbulkan rasa takut dan berserah diri kepada Allah. Kedua,
mengosongkan perut. Sebab perut yang lapar mampu menyegarkan hati,
membersihkan dari kedhaliman dan kesombongan, mengantisipasi datangnya
penyakit sehingga dapat menimbulkan gairah untuk beribadah. Ketiga, beribadah di tengah malam (Qiyamul Lail). Qiyamul Lail merupakan pengangkat dosa, penolak penyakit, dan termasuk kebiasaan orang-orang saleh. Keempat,
berdzikir pada waktu sahur. Waktu sahur merupakan waktu yang paling
sesuai untuk bermunajat (berbisik) kepada Allah di mana do’a lebih di
dengar pada saat itu. Kelima, berkawan dengan orang saleh. Karena
dengan bersahabat dengan orang saleh dapat meneladani sifat-sifat
terpuji mereka sehingga hati kita terasa sejuk di sisi mereka. [Kifâyatu
al-Atqiyâ’ wa Minhâju al-Ashfiyâ’, 49-50]
Sedangkan al-Ghazali memberikan prioritas kepada penyakit hati yang harus disembuhkan terlebih dahulu, yaitu sifat dengki, riya’, dan ‘ujub karena ketiganya merupakan pangkal dari sifat-sifat tercela yang lainnya. Setelah ketiga penyakit ini sembuh, maka baru melangkah untuk menangani penyakit yang lain. Dengan berkomitmen yang sungguh untuk menjauhi ketiga sifat tersebut akan membuat hati terbebas dari belenggu kotoran hati. [Bidayatu al-Hidâyah, 76]
Bagaimana melatih hati
agar dapat menuju kepada Tuhan? Hati bagaikan anak kecil yang harus
selalu dirawat agar tidak melenceng ke jalan yang tidak benar. Tentunya
hati perlu dilatih dengan menyucikan jiwa dan membersihkan hati.
Kuncinya adalah membangun akhlaq dengan mengkonsumsi sifat-sifat yang
terpuji dan membuang jauh-jauh sifat-sifat tercela. Ini perlu dilakukan
karena akhlaq bisa dibentuk dan dirubah. Sebejat apapun hati manusia
masih ada peluang yang lebar untuk memperbaiki diri. Sesungguhnya
Rasulullah diutus ke dunia tak lain untuk menyempurnakan akhlaq. Di
samping itu Rasulullah menyuruh untuk memperbaiki akhlaq. Jadi, mana
mungkin akhlaq tidak bisa berubah sementara Rasulullah menyuruh manusia
memperbaiki akhlaqnya. Lalu apa gunanya nasihat dan pendidikan bila
akhlaq tidak bisa dibentuk. Oleh karena itu, hati yang sudah berkarat
sampai parahpun masih bisa dilatih untuk dipermak bagus sehingga
menjadi hati yang jernih dan siap hadir ke haribaan Tuhan. [Ihyâ’ Ulûmu
al-dîn, III:60-61]
Melatih hati merupakan
proses menjernihkan akhlaq, menghinakan nafsu dan menyematkan pada diri
akan sifat penghambaan. Dengan membiasakan diri merasa rendah dan hina
akan membakar penyakit-penyakit yang selalu menggerogoti hati. Di dalam
tasawwuf di kenal istilah tahalli, takhalli, dan tajalli. Ketiganya merupakan rangkaian proses yang dilalui untuk menuju pada hakikat kebenaran Tuhan. Pertama, tahalli merupakan penghiasan diri dengan asma Tuhan dimana ketika melihat sesuatu akan selalu teringat kepada Tuhan. Disini diperlukan pemupukan sifat-sifat terpuji. Kedua, takhalli,
artinya mengosongkan jiwa dan memalingkan diri dari sesuatu yang dapat
mengganggu dari keterkaitannya kepada Allah. Tentunya menjauhi
sifat-sifat yang dapat merusak hati. Ketiga, tajalli yang
merupakan puncak yang akan dicapai dari proses yang dilalui sebelumnya.
Pada tataran ini hati akan terbuka dan dapat menyingkap rahasia-rahasia
kebenaran yang gaib. [al-Futuhat al-Makkiyah, II:484-489]
Pada akhirnya, untuk
membentuk hati yang bersih dan jernih di perlukan usaha yang serius
dengan menggosok kotoran-kotoran sifat tercela. Apabila tidak bisa
secara purna dihabisi sekaligus, maka perlu dilakukan secara bertahap.
Mulai dengan membersihkan sifat tercela yang paling ringan dan secara
konsisten dilanjutkan sampai habis seluruhnya. Disamping itu hati perlu
dilatih dengan membiasakan menata akhlaq yang mulia. Namun, kalau toh
dengan berbagai upaya yang ditawarkan di atas masih belum mampu
memperbaiki hati, misalnya dengan baca al-Qur’an dan memperbanyak dzikir
masih belum berhasil menyembuhkan hati bukan berarti kesalahan pada
konsep yang ditawarkan. Tapi justru kesalahan kita sendiri yang tidak
mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu perlulah bagi kita
untuk introspeksi diri. Afala tatafakkarun
0 komentar:
Posting Komentar